Sabtu, Mei 10, 2014
0
BUDI Ashari, lelaki berkaca mata yang wajahnya semakin akrab menyapa pemirsa layar kaca Indonesia lewat acara “Khalifah” di sebuah stasiun televisi swasta adalah ayah dari 3 orang anak. Lahir di Tulungagung, 17 April 1975. 

“Cerdas” adalah kesan yang akan di dapat oleh setiap orang yang mendengar kajiannya. Wajarlah kalau ia menjadi salah satu lulusan terbaik dengan predikat cumlaude dari Fakultas Hadits dan Studi Islam di Universitas Islam Madinah, Saudi Arabia. Majalah Ghoib, Sinetron Astaghfirullah (SCTV) dan reality show “Kehebatan Ruqyah” (Lativi) adalah beberapa sentuhan produk yang dibidaninya.

Salah satu pendiri Yayasan Cahaya Siroh dan direktur Lembaga Kajian dan Study Ilmu Peradaban Islam Cahaya Siroh ini memiliki obsesi besar untuk menghadirkan berbagai kurikullum pendidikan yang dapat mengembalikan peradaban Islam. Bersama Muhamimin Iqbal yang merupakan praktisi bisnis sekaligus pemilik “geraidinar.com” membangun Kutab sebuah institusi pendidikan untuk anak-anak usia 5 – 12 tahun. Sebuah institusi yang terinspirasi dari sejarah pemerintahan Khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq.
 
“Ketika hidup selalu terasa sial” dan “Inspirasi dari rumah cahaya”, adalah dua buah buku yang di hasilkan dari kegemarannya menulis. Ia pun menjadi salah satu inspirator, pendiri dan penulis rutin cahayasiroh.com.  Budi Ashar mempunyai motto hidup “Jangan pernah beristirahat sebelum sebelah kaki kita menginjak di surga”. Kiprahnya terus menghadirkan berbagai informasi dan ulasan tentang kedahsyatan kehidupan generasi Rasulullah SAW dan para sahabatnya dalam membangun peradaban Islam di pentas dunia.

Berikut adalah petikan percakapannya dengan Saad Saefullah, dari islampos.

Di skala global pendidikan Indonesia setelah 2-3 tahun ini bergulir, Kuttab itu berada di mana?

Kami tidak mengambil posisi Indonesia. Karena ketika saya belajar tentang Islam, kepala saya tidak lagi dibatasi oleh wilayah. Saya pikir itu hasil alamiatul Islam, karena Islam agama yang alami. Yang secara berpikir tidak dibatasi oleh lokal. Bagi saya masalah batas itu sangat tidak penting, sebagai contoh masalah perebutan batik antara Indonesia dan Malaysia.

Bagi saya itu tidak menarik sekali. Mohon maaf, mungkin para budayawan tersinggung, tapi bagi saya tidak penting terbatas pada hal macam itu. Ambil sajalah, apa masalahnya itu? Ada lagi, berkaitan dengan Reog Ponorogo yang ada di Malaysia, itu karena memang orang Ponorogo tinggal di sana, turun temurun terus anaknya tahu Reog itu dari bapaknya—pernah diwawancarai oleh salah satu stasiun televisi, apa salahnya? Terus kita jadi rebutan gitu? Mending kita rebutan kampus sama Malaysia, rebutan ilmu, rebutan profesor, tarik sana-tarik sini, itu mungkin lebih keren, menurut saya.
Tapi mohon maaf ya, itu menurut saya. Karena yang jelas saya tidak lagi memikirkan Indonesia, Indonesia itu bagian yang harus dipikirkan dari pemikiran berskala global. Dari awal saya belajar Islam sampai sekarang, Indonesia ini makin ke sini hanya sebagian saja.

Apa kendala yang Anda temui di lapangan dengan model pendidikan Islam yang Anda kembangkan ini?

Saya pikir kami tidak punya kendala. Ya, sebenarnya semua kendala itu ada, tapi karena kita belajar tawakal, jadi tidak ada masalah dengan kendala-kendala itu, sampai saat ini alhamdulillah kita tidak terganggu dengan kendala-kendala itu. Bahkan, misalnya begini kalau ada yang bertanya masalah perizinan, para orang tua datang memberi masukan, nasihat, bahkan para pejabat di dunia pendidikan yang anaknya bersekolah di situ juga memberi saran.

Tapi, masalah terbesar kami adalah SDM. Kami ini jika membuat kriteria keharusan guru di sekolah kami itu sulit terpenuhi, jadi kami mencari guru-guru yang mau menjadi seperti kriteria itu. Belajar berubah menjadi lebih baik bareng-bareng sama kita. Jadi, sulit sekali mencari SDM.

Formula pendidikan Islam ini setelah bergulir beberapa tahun sebenarnya ada di mana? Ada yang berpendapat, SDIT sendiri belum memecahkan masalah pendidikan anak-anak muslim sekarang ini. ..

Saya ingin mempsisikan diri di posisi  yang sederhana, hanya satu tangga di atas yang sudah ada. Kami bukan satu-satunya yang memperbaiki, sudah banyak sekolah-sekolah Islam sebelum kita yang sudah berupaya memperbaiki dan ada banyak proses .Tapi kami belajar, plus-minusnya kami ingin berada satu tingkat lebih di atas yang sudah ada.

Akan ada kekhawatiran ini jadi masuk wilayah yang sangat eksklusif tidak, memandang anak-anak yang masuk ke sini, konsepnya beda? Jumlah anak yang diterima per satu kelasnya, dengan SDIT pun berbeda jauh. SD IT masih menerima di atas 20 orang siswa per kelas, sementara Kuttab hanya 12 orang. …

Ya, saya sendiri tidak anti dengan kata eksklusif. Karena Nabi pun bersabda, kita harus eksklusif, “Kalian adalah umat yang satu terlepas dari seluruh manusia yang ada.” Jadi, muslim itu harus eksklusif, ibadahnya harus eksklusif, akidahnya harus eksklusif, tapi dalam muamalah interaksi, dia tidak boleh eksklusif. Nabi pun siap bertetangga dengan Yahudi, itu kita lakukan. Alhamdulillah, anak-anak kita tidak eksklusif di lapangan. Data kita menunjukkan, meskipun kita belum mengajarkan leadership—tapi mengaji saja, di lapangan itu mereka jadi leader. Maka dari itu mereka sama sekali tidak eksklusif.”

Pendekatan apa yang paling strategis bagi anak-anak untuk menghafal Qur’an di zaman seperti ini?

Menurut saya, karena saya bukan ahli menghafal Qur’an, apapun teorinya yang terpenting ya baca diulang-ulang. Sampai ada sebuah konsep, menghafal Qur’an itu bukan berapa banyak juz yang dapat dihafal, tapi berapa kali kita dapat mengulang bacaan itu. Karena kalau menilik pada jenis pendekatan, itu sudah banyak sekali di negeri ini, model konsep-konsep dari berbagai penjuru dunia sudah ada. Tinggal meniru saja. InsyaAllah, menghafal Qur’an itu tidak sulit.

Berkenaan dengan masalah biaya, kompromi apa yang dilakukan oleh pihak Kuttab?

Kuttab ini prinsipnya mulia sekali. Sejak awal kami berdiri, kami ingin menggratiskan semua, karena pendidikan bukan sesuatu yang komersial. Pendidikan adalah kewajiban kita untuk mendidik generasi kita. Tapi masalahnya ketika kita bicara mengenai guru, posisi kita di tengah, kalau kita punya uang akan kita gratiskan anak-anak itu. Tapi dalam konsep Islam, guru dan tenaga pendidik itu kesejahteraannya harus tinggi. Nggak bener tuh, guru gajinya kecil sedangkan anak-anak biaya masuknya mahal, tiap tahun naik, tapi gaji gurunya tetep pas-pasan. Apalagi kalau kepala pendirinya adalah bisnis. Nah, kalau kita punya uang, akan kita gratiskan. Dan kami yakin, suatu saat nanti pasti akan gratis.

Pada titik mana pendidikan gratis itu dilaksanakan?

Ketika pendanaan yang dulu-dulu pernah digunakan oleh Islam untuk mendanai pendidikan itu telah kembali.

Apakah pada periode kelima akhir zaman?

Nggak. Kelamaan. Kita ini sering nunggu, padahal kita ini pelaku. Kita kebiasaan nungguin Imam Mahdi. Padahal masih lama, nanti Imam Mahdi itu muncul itu, kalau orang belajar hadits pasti tahu saatnya Imam Mahdi muncul. Nanti masih lama sekali, bukan ini saatnya. Ketika kita sudah punya khilafah besar yang kemudian dia itu jatuh, lalu kita butuh Imam Mahdi untuk membangkitkannya kembali. Tugas kita sekarang adalah membentuk khilafah itu, karena sekarang potensi umat Indonesia besar sekali dan bisa dirangkai.

Namun, bagaimana kita bisa merangkai dengan izin Allah dan pendanaan itu harus dikembalikan seperti dulu, barulah bisa pendidikan bisa kita gratiskan.

Kalau mau menggratiskan itu kita hanya butuh sekitar Rp 13 Milyar setahun, itu bukan uang yang besar. Untuk seorang pengusaha jumlah segitu bukan uang besar, luar biasa kan jumlah infaq seorang saja sudah bisa menggratiskan pendidikan satu kabupaten. Cuma untuk mencari satu orang itulah yang jadi tantangan.

Jika hari ini Kuttab masih berdana, tapi kita tidak pernah berhitung. Demi Allah, tidak pernah berhitung. Mengapa harus satu dinar, lima dinar begitu? Berdasarkan apakah hitungannya? Kami juga tidak tahu kenapa angka itu muncul. Semua itu asalnya hanya sekadar bicara saja. Karena di beberapa daerah kami, angka-angka itu sangat kecil, seperti di Depok contohnya. Bahkan tukang pijat tunanetra saya aja bilang ‘Kuttab itu murah dan hasilnya itu bagus.’ Tapi mungkin di beberapa derah lain, masih jadi hambatan dan terbilang mahal.

Apa misi besar Kuttab untuk Indonesia?

Meningkatkan SDM. Indonesia pernah besar dengan Islam. Harus dicari akar kebesarannya dengan Islam. Indonesia diakui kebesarannya oleh dunia karena kualitas. Tapi sekarang kualitas itu sudah tidak ada. Jadi kita harus sediakan itu lagi, untuk menyiapkan fase lima itu tadi.




Artikel Islam Pos

0 komentar:

Posting Komentar