Ayat-ayat
tentang puasa (Ayatush Shiyam) yang tersusun secara berurutan dalam
satu surah, yaitu surah Al-Baqarah dari ayat 183-187 seringkali difahami
hanya dalam konteks peningkatan amaliah ibadah mahdhah.
Padahal secara korelatif, ayatush shiyam selain dari sarat dengan ta’limat ilahiyyah dan taujihat rabbaniyah tentang peningkatan ruhiyah dengan penguatan amaliah ibadah, juga sarat dengan nilai-nilai dakwah dan sosial dalam kehidupan bermasyarakat. Betapa Ramadhan sangat tepat dijadikan munthalaq
dakwah untuk lebih mengintensifkan kembali geliat dan gairah dakwah
sehingga makna yang mewarnai kehidupan Ramadhan adalah makna-makna
dakwah.
Korelasi ayatush shiyam dengan dakwah
Secara
korelatif, ayat-ayat yang mendampingi ayatush shiyam, baik ayat-ayat
sebelumnya maupun sesudahnya ternyata berbicara tentang dakwah dalam
konteks fiqhul mu’amalah dan hokum hudud. Pendampingan dalam penyusunan
seperti ini
tentu mustahil tanpa hikmah dan pelajaran yang bisa digali darinya.
Ayat 178-182 dari surah Al-Baqarah sebelum ayat puasa ternyata berbicara
tentang hokum qishash yang merupakan bagian dari target dan realisasi
dakwah, yaitu tegaknya hokum-hukum syariat. Redaksi yang digunakan juga
mirip dengan redaksi yang digunakan dalam konteks perintah puasa, “Hai
orang-orang yang beriman, telah diwajibkan atas kamu (menerapkan)
qishash dalam hal pembunuhan”.
Ayat 188
setelah ayat puasa juga berbicara tentang hokum mu’amalah dalam konteks
jual beli dan perdagangan, “Janganlah kalian memakan harta diantara
kalian dengan cara yang bathil”. Padahal mu’amalah yang dijalankan
dengan baik dan benar merupakan satu lagi sasaran dakwah yang harus
ditegakkan sehingga akan terjamin kehormatan diri, harta dan masyarakat
secara keseluruhan.
Lebih ketara lagi
pada ayat 190 dan seterusnya yang berbicara tentang perintah perang yang
merupakan bagian dakwah yang terbesar dan terberat, “Perangilah oleh
kalian di jalan Allah orang-orang yang memerangi kalian”. Keterkaitan
dan korelasi tematis ini menjadi landasan akan pemaknaan bulan Ramadhan
dengan makna dakwah disamping makna-makna ibadah dan ukhuwwah.
Ta’amul da’awi di bulan dakwah
Target
dari pelaksanaan ibadah puasa yang telah ditetapkan oleh Allah dengan
ungkapan pengharapan “la’allakum tattaqun” merupakan jaminan akan
peningkatan kebaikan
seseorang yang berpuasa dengan benar. Takwa yang diharapkan dari
pengalaman menjalani hidup dan kehidupan di bulan Ramadhan bisa
dijabarkan sebagai bentuk pembiasaan untuk melakukan amal-amal kebaikan
dan pembiasaan untuk meninggalkan amal-amal keburukan. Hasan bin Thalq
menyebutkan definisi ini seperti yang dikutip oleh Ibnu Katsir dalam
kitab tafsirnya. Takwa yang ditargetkan ternyata sangat terkait dengan
bentuk ta’amul dengan Ramadhan.
Ada
beberapa bentuk ta’amul (interaksi) yang bisa diaktifkan selama
mengikuti amaliah Ramadhan. Namun salah satu bentuk ta’amul yang
seharusnya diperhatikan oleh para da’I adalah ta’amul da’awi selain dari ta’amul ta’abbudi yang menjadi target amaliah kebanyakan orang di bulan Ramadhan. Betapa sejarah Ramadhan masa lalu sarat dengan kegiatan dan aktivitas dakwah. Bahkan kegiatan dakwah terbesar dan terberat justru terjadi di bulan Ramadhan.
Perang Badar yang merupakan perang perdana
untuk menunjukkan eksistensi dakwah Islam justru terjadi di bulan
puasa. (lihat surah Al-Anfal: 41). Padahal pada saat itu, Rasulullah dan
para sahabat hanya mempersiapkan perlengkapan untuk menghadang kafilah
dagang Abu Sufyan. Bukan untuk menghadapi pasukan Quraisy yang
bersenjata lengkap. Namun jalan dakwah yang sudah diyakininya tidak
mengenal kamus “mundur kembali ke garis start”. Justru dengan modal
keyakinan akan janji Allah dan pembuktian akan satu komitmen yang
totalitas terhadap dakwah Islam, beliau maju menghadapi berbagai
rintangan, tribulasi dan setiap ujian yang menghadang di jalur dakwah.
Saat pertempuran semakin sengit, Rasulullah bermunajat, “Ya Allah, jika
pasukan ini hancur pada hari ini, tentu Engkau tidak akan disembah lagi
ya Allah, kecuali jika memang Engkau menghendaki agar Engkau tidak
disembah selamanya setelah hari ini”.
Pembukaan atau Fathu Makkah yang merupakan perjalanan
dakwah terakhir Rasulullah juga terjadi dan memilih Ramadhan sebagai
bulan kemenangan dakwah yang gilang gemilang. Ternyata Ramadhan
merupakan pilihan yang tepat dan terbaik untuk meraih kemenangan dakwah.
Menjelang
Ramadhan tiba, Rasulullah selaku pemimpin para da’i, menyampaikan satu
pidato kenegaraan yang bernuansa dakwah, mengajak seluruh umat
memanfaatkan bulan Ramadhan sebaik-baiknya, meraih sebanyak-banyaknya
keberkahan bulan ini. Berkah dalam arti katsratul khair wal manafi’
banyak kebaikan dan manfaat yang bisa diraih darinya. Dan nantinya,
kebaikan dan manfaat itu akan bertambah jika disampaikan kepada orang
lain dalam bentuk dakwah yang berkesinambungan. Inilah esensi dakwah
yang harus dirasakan selama mengikuti aktivitas Ramadhan.
Ada
beberapa target dakwah yang layak untuk dipersiapkan oleh para kader
sebagai bekal menghadapi ujian dakwah pasca Ramadhan, diantaranya:
Target menghargai waktu
Ibnul
Qayyim rahimahuLlah menegaskan substansi dan nilai waktu dalam
kehidupan manusia, “Sebenarnya waktu yang dimiliki oleh manusia adalah
umurnya sendiri yang terus berjalan perlahan seperti gerakan awan.
Setiap waktu yang digunakan untuk Allah, itulah kehidupan dan umurnya.
Sementara itu, waktu yang digunakan selain dengan tujuan tersebut tidak
dianggap sebagai waktu (yang berarti) bagi hidupnya. Jika dia terus
hidup, maka hidupnya sama dengan kehidupan binatang. Jika dia
menghabiskan waktu dalam keadaan lalai, lupa
diri, dan membangun harapan-harapan bathil, maka waktu terbaik yang
dilaluinya adalah ketika tidur dan menganggur. Maka orang tersebut lebih
baik mati daripada terus bertahan hidup”. (Al-Jawab Al-Kafi)
Ungkapan
Ibnul Qayyim sangat tepat untuk diperhatikan dalam konteks Ramadhan.
Betapa banyak waktu yang terkadang terbiar tanpa aktivitas di bulan ini.
Padahal keutamaan yang disediakan oleh Ramadhan memiliki motivasi
tersendiri untuk memenuhi waktu demi waktu di bulan ini dengan amal
sholeh.
Ibnu Mas’ud radiyaLlahu anhu
mengingatkan kepada kita akan penyesalan waktu yang tidak bermanfaat,
“Aku tidak pernah menyesali sesuatu seberat penyesalanku terhadap satu
hari dimana matahari sudah tenggelam dan umurku berkurang, namun amal
kebaikanku tidak bertambah”.
Dalam
konteks dakwah, waktu adalah harta yang paling berharga bagi seorang
da’i, karena waktu adalah modal utamanya. Aktivitas dakwah mustahil bisa
mencapai tujuan dan merealisasikan sasarannya, kecuali jika ia bisa
menggunakan dan mengoptimalkan waktunya dengan sungguh-sungguh. Ramadhan
mengajar banyak kepada para da’I akan penting dan berartinya waktu.
Bahkan ada waktu yang lebih baik dan lebih besar nilainya dari seribu
bulan, yaitu lailatul qadar. Dan itu hanya Allah sediakan di bulan
Ramadhan.
Target keteladanan
Berdakwah
dalam arti menyeru manusia kepada kebaikan, jika disertai dengan
penyimpangan perilaku para da’inya merupakan penyakit yang akan
menimbulkan kebimbangan dalam diri. Bukan hanya pada diri seorang da’I
tetapi berakibat juga terhadap dakwah. Dalam konteks dakwah saat ini,
masyarakat sangat menanti dan mendambakan lahirnya teladan yang membuat
mereka yakin akan seluruh ajaran Islam. Jika tidak, mereka tidak lagi
percaya kepada agama ini setelah terlebih dahulu kehilangan kepercayaan
kepada pada da’I ang menyebarkannya. (Muhd. Abduh, Madza Ya’ni Intima’i
liddakwah).
Keteladan seorang da’i
merupakan pilar utama kesuksesan dakwah. Keteladan Rasulullah saw yang
diungkapkan oleh Aisyah ra “akhlaknya adalah Al-Qura’n” merupakan kunci
utama kesuksesan dan penerimaan dakwah beliau. Maka Ramadhan merupakan
momen penting untuk membangun keteladanan; keteladanan dalam bersikap,
bertingkah laku, keteladanan dalam kesabaran, keteladanan dalam beramal
dan keteladanan dalam membangun persaudaraan diantara sesame muslim
untuk dijadikan sarana dakwah. Semua keteladanan itu ternyata merupakan
petunjuk praktis dan aturan main amaliah Ramadhan.
Target wirid harian
Satu
ayat yang disisipkan di tengah-tengah ayatush shiyam adalah ayat 186
yang berbicara tentang do’a dan dzikir, “Jika hambaKu bertanya kepadamu
tentang Aku, maka katakanlah Aku adalah dekat. Aku mengabulkan
permintaan hambaKu jika ia memohon kepadaKu”. Penyisipan ayat ini
mengisyaratkan bahwa amaliah Ramadhan hendaklah senantiasa diiringi
dengan doa memohon pertolongan dan kekuatan dariNya, apalagi dalam
konteks dakwah, sangat tepat jika wirid dan doa ini senantias menghiasi
kehidupan para da’i.
Wirid merupakan
sarana membersihkan diri dan beribadah kepada Allah sekaligus sebagai
bekal selama menempuh perjalanan dakwah. Ada tiga bentuk wirid yang
sangat baik untuk diperbanyak di bulan Ramadhan sebagai sentuhan energi
dan kekuatan dalam berdakwah; wirid do’a seperti istighfar, tasbih, tahmid, takbir, tahlil, tilawah Qur’an dan wirid kalimah thoyyibah lainnya. Wirid robithah
untuk memperkuat hubungan bathin diantara sesame da’I sebagai bentuk
do’a an dzharil ghayb yang sangat dianjurkan oleh Rasulullah saw. Wirid muhasabah
dalam bentuk mengingat dan mengevaluasi seluruh aktivitas dakwah yang
dilakukan pada hari itu. Jika ada kebaikan, segeralah mensyukurinya dan
jika ada kekurangan dan kekhilafan, segeralah untuk memohon ampunan dan
memanjatkan doa kepada Allah, lalu bertobat untuk memperbaiki gerak
dakwah di masa yang akan datang.
Wirid-wirid
harian ini terasa akan lebih efektif jika dilaksanakan saat menjelang
malam hari berbarengan dengan aktivitas qiyamul lail. Kekuatan doa dan
wirid akan memperkuat langkah dan azam dakwah “Doa adalah senjata orang
yang beriman”. Dan bulan Ramadhan adalah syahrul maghfirah waddu’a.
Target-target da’awi di bulan Ramadhan
Syekh Musthafa Masyhur menekankan akan pentingnya tarbiyah
dalam konteks dakwah, “Salah satu prinsip mendasar yang sangat
ditekankan oleh Imam Syahid Hasan Al-Banna dan harus kita jaga adalah
memberi perhatian terhadap masalah tarbiyah
dan aspek ritual. Kedua hal ini ibarat ruh yang ada pada tubuh manusia,
baik dalam skala individu maupun dalam skala jama’ah. Imam Hasan
Al-Banna rahimahuLlah yakin bahwa seorang muslim yang berpegang teguh
dengan sifat-sifat orang yang beriman adalah fondasi utama harakah,
pembinaan dan usaha untuk merealisasikan tujuan-tujuan dakwah. Dialah
yang membangun keluarga
muslim, masyarakat muslim dan Negara muslim. Ketika unsur ini kokoh,
maka proses pembangunan akan berjalan setahap demi setahap dengan kokoh
dan baik, begitupula sebaliknya”. (Fiqhud Da’wah).
Ramadhan
yang dikenal juga dengan syahrul ibadah merupakan bulan untuk
memperkuat hubungan dengan Wali dan Pelindung para da’i. karena seorang
da’i sejati adalah seorang abid (seorang yang taat beribadah) kepada
Allah, taat kepada ajaranNya dan tunduk kepada kebesaranNya. Kekurangan
dalam melakukan ibadah, terutama ibadah fardhu akan menghempaskan
aktivis dakwah. Bahkan dia akan kehilangan keteladan dalam berdakwah.
Dalam
skala keluarga, pembiasaan bangun malam bersama seluruh anggota
keluarga di bulan Ramadhan harus menjadi agenda harian yang
berkesinambungan pasca Ramadhan sebagai bagian dari komitmen dakwah
kita. Kajian-kajian keislaman yang semakin marak merupakan momen yang
tidak boleh terlupakan untuk mengisi dengan muatan-muatan dakwah
disamping muatan-muatan ruhiyah.
Momen silaturahim
yang banyak berlangsung di awal maupun di akhir Ramadhan yang diakhiri
dengan momen idul fithri merupakan fenomena yang bisa ditangkap makna
dakwah di dalamnya jika kita mampu mengintensifkan nilai-nilai dakwah di
dalamnya, selain dari rutinitas yang bisa dijalankan.
Kekerapan
seseorang berada di masjid-masjid dan tempat-tempat kebaikan merupakan
nilai positif dakwah yang harus ditangkap untuk perluasan dan medan
tadrib da’awi. Semuanya merupakan indikasi bahwa Ramadhan memang bulan
yang dijadikan oleh Allah sebagai munthalaq dakwah untuk kembali
memaknai kehidupan dakwah kita, mengevaluasi dan mengefektifkan kembali
sayap-sayap dakwah sehingga geliat dan bahana dakwah akan lebih terasa
intensivitasnya pasca Ramadhan. Semoga makna-makna dakwah Ramadhan lebih
banyak ditangkap oleh para aktivis dakwah di jalan Allah.
Oleh : Dr. Attabiq Luthfi, MA
Artikel Dakwatuna
0 komentar:
Posting Komentar