Jumat, Juni 20, 2014
0
Kita sudah memasuki bulan Sya’ban, maka sebentar lagi akan tiba bulan yang sangat dinanti-nanti oleh umat Islam di seluruh dunia, bulan yang penuh dengan kemuliaan dan dilipatgandakannya amalan-amalan shalih, yaitu bulan Ramadhan. Sayangnya, ketika kita akan memasuki bulan ini, kadang masih kita temukan saudara-saudara kita yang mensharing atau menyebarkan beberapa artikel yang mereka sangka itu adalah hadits padahal itu adalah perkataan yang tidak ada asal-usulnya atau lebih parah lagi, hadits palsu. Semoga Allah Ta’ala mengampuni saudara-saudara kita tersebut karena ketidaktahuan mereka.

Berikut ini adalah salah satu contoh hadits yang banyak disebar sebelum memasuki bulan Ramadhan :

Ketika Rasulullah sedang berkhutbah pada suatu shalat Jum’at (dalam bulan Sya’ban), beliau mengatakan Aamiin sebanyak tiga kali, dan para sahabat begitu mendengar Rasulullah mengatakan Aamiin, terkejut dan spontan mereka ikut mengatakan Aamiin. Tapi para sahabat bingung, kenapa Rasulullah berkata Aamiin sampai tiga kali. Ketika selesai shalat Jum’at, para sahabat bertanya kepada Rasulullah, kemudian beliau menjelaskan, “Ketika aku sedang berkhutbah, datanglah Malaikat Jibriil dan berbisik, “Wahai Rasulullah, amin-kan do’a ku ini,” Do’a Malaikat Jibril itu adalah, “Ya Allah, tolong abaikan puasa umat Muhammad, apabila sebelum memasuki bulan Ramadhan dia tidak melakukan hal-hal yang berikut, yaitu tidak memohon maaf terlebih dahulu kepada kedua orang tuanya (jika masih ada), tidak berma’afan terlebih dahulu antara suami istri, tidak berma’afan terlebih dahulu dengan orang-orang sekitarnya.” Maka Rasulullah pun mengatakan Aamiin sebanyak 3 kali.

Hadits dengan matan seperti ini tidak ada asal-usulnya dari hadits-hadits Nabawiyyah yang shahih, bahkan yang dha’if sekalipun, dan hadits ini telah dijadikan dalil berma’af-ma’afan sebelum bulan Ramadhan tiba oleh sebagian saudara-saudara kita. Insya Allah, kami akan mengulasnya kali ini dengan seizin Allah dan kemudahan dariNya.

Kami mengira hadits ini diutak-atik dan diubah matannya dari hadits berikut, diriwayatkan oleh Al-Imaam Ibnu Khuzaimah rahimahullah :

حَدَّثَنَا الرَّبِيعُ بْنُ سُلَيْمَانَ، أنا ابْنُ وَهْبٍ، أَخْبَرَنِي سُلَيْمَانُ وَهُوَ ابْنُ بِلالٍ، عَنْ كَثِيرِ بْنِ زَيْدٍ، عَنِ الْوَلِيدِ بْنِ رَبَاحٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم رَقِيَ الْمِنْبَرَ، فَقَالَ: ” آمِينَ، آمِينَ، آمِينَ “، فَقِيلَ لَهُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَا كُنْتَ تَصْنَعُ هَذَا؟ ! فَقَالَ: ” قَالَ لِي جِبْرِيلُ: أَرْغَمَ اللَّهُ أَنْفَ عَبْدٍ أَوْ بَعُدَ دَخَلَ رَمَضَانَ فَلَمْ يُغْفَرْ لَهُ، فَقُلْتُ: آمِينَ.
ثُمَّ قَالَ: رَغِمَ أَنْفُ عَبْدٍ أَوْ بَعُدَ أَدْرَكَ وَالِدَيْهِ أَوْ أَحَدَهُمَا لَمْ يُدْخِلْهُ الْجَنَّةَ، فَقُلْتُ: آمِينَ.
ثُمَّ قَالَ: رَغِمَ أَنْفُ عَبْدٍ أَوْ بَعُدَ، ذُكِرْتَ عِنْدَهُ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيْكَ، فَقُلْتُ: آمِينَ “

Telah menceritakan kepada kami Ar-Rabii’ bin Sulaimaan[1], telah mengkhabarkan kepada kami Ibnu Wahb[2], telah mengkhabarkan kepadaku Sulaimaan -dia adalah Ibnu Bilaal-[3], dari Katsiir bin Zaid[4], dari Al-Waliid bin Rabaah[5], dari Abu Hurairah[6] -radhiyallahu ‘anhu-, bahwa suatu hari Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam naik mimbar dan beliau bersabda, “Aamiin, aamiin, aamiin.” Ditanyakan kepada beliau, “Wahai Rasulullah, apa yang membuatmu mengatakan seperti itu?” Beliau bersabda, “Jibriil berkata kepadaku, “Semoga Allah menghinakan seorang hamba yang setelah memasuki Ramadhan, Allah belum mengampuni dirinya.” Maka aku katakan, “Aamiin.” Kemudian Jibriil berkata, “Terhinalah seorang hamba yang mendapati kedua orangtuanya masih hidup atau salah satu dari keduanya akan tetapi tidak dapat membuatnya masuk surga.” Maka aku katakan, “Aamiin.” Kemudian Jibriil berkata, “Terhinalah seorang hamba ketika namamu disebut di sisinya, ia tidak bershalawat kepadamu.” Maka aku katakan, “Aamiin.”
[Shahiih Ibnu Khuzaimah 3/192].Diriwayatkan pula oleh Al-Bukhaariy (Al-Adabul Mufrad no. 646); Al-Baihaqiy (As-Sunan Al-Kubraa 4/303; Fadhaa’ilul Auqaat no. 55); Ath-Thabaraaniy (Mu’jam Al-Ausath no. 8994); Ismaa’iil bin Ishaaq Al-Qaadhiy (Fadhl Ash-Shalaatu ‘Alan Nabiy no. 18) Sanad hadits ini hasan.

Al-Waliid bin Rabaah dalam periwayatannya dari Abu Hurairah mempunyai mutaba’at dari :

1. Sa’iid bin Abu Sa’iid Kaisaan Al-Maqburiy -rahimahullah-

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ الدَّوْرَقِيُّ، حَدَّثَنَا رِبْعِيُّ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ إِسْحَاق، عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: ” رَغِمَ أَنْفُ رَجُلٍ ذُكِرْتُ عِنْدَهُ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيَّ، وَرَغِمَ أَنْفُ رَجُلٍ دَخَلَ عَلَيْهِ رَمَضَانُ ثُمَّ انْسَلَخَ قَبْلَ أَنْ يُغْفَرَ لَهُ، وَرَغِمَ أَنْفُ رَجُلٍ أَدْرَكَ عِنْدَهُ أَبَوَاهُ الْكِبَرَ فَلَمْ يُدْخِلَاهُ الْجَنَّةَ “، قَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ: وَأَظُنُّهُ قَالَ: ” أَوْ أَحَدُهُمَا “

Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Ibraahiim Ad-Dauraqiy[7], telah menceritakan kepada kami Rib’iy bin Ibraahiim[8], dari ‘Abdurrahman bin Ishaaq[9], dari Sa’iid bin Abu Sa’iid Al-Maqburiy[10], dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, “…(Al-Hadiits)” ‘Abdurrahman berkata, “Dan aku menduganya mengatakan, “atau salah satu dari keduanya.”[Jaami' At-Tirmidziy no. 3545].
Diriwayatkan pula oleh Ahmad (Musnad no. 7402); Ibnu Hibbaan (Shahiih Ibnu Hibbaan no. 908); Al-Haakim (Al-Mustadrak 1/549); Ibnul A’raabiy (Mu’jam Ibnul A’raabiy no. 1325); Ibnu Abi ‘Aashim (Ash-Shalaatu ‘Alan Nabiy no. 65); Asy-Syajariy (Al-Amaliy no. 633); Ibraahiim Al-Harbiy (Ghariibul Hadiits 3/1076); Ibnu ‘Abdil Barr (Itsaaratul Fawaa’id no. 7); Al-Baghawiy (Syarhus Sunnah no. 689; Ma’aalimut Tanziil no. 727); Al-Qaadhiy ‘Iyaadh (Asy-Syifaa 2/50); Yuusuf Al-Mizziy (Tahdziibul Kamaal 9/53).Sanad hadits ini hasan.

2. Abu Salamah ‘Abdullaah bin ‘Abdurrahman bin ‘Auf -rahimahumallah-

حَدَّثَنَا أَبُو مَعْمَرٍ الْهُذَلِيُّ، حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ غِيَاثٍ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم صَعِدَ الْمِنْبَرَ، فَقَالَ: ” آمِينَ، آمِينَ، آمِينَ “، فَقِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّكَ حِينَ صَعِدْتَ الْمِنْبَرَ، قُلْتَ: آمِينَ، آمِينَ، آمِينَ؟ قَالَ: ” إِنَّ جِبْرِيلَ أَتَانِي، فَقَالَ: مَنْ أَدْرَكَ شَهْرَ رَمَضَانَ فَلَمْ يُغْفَرْ لَهُ فَدَخَلَ النَّارَ، فَأَبْعَدَهُ اللَّهُ، قُلْ: آمِينَ، فَقُلْتُ: آمِينَ، وَمَنْ أَدْرَكَ أَبَوَيْهِ، أَوْ أَحَدَهُمَا، فَلَمْ يَبَرَّهُمَا، فَمَاتَ، فَدَخَلَ النَّارَ، فَأَبْعَدَهُ اللَّهُ، قُلْ: آمِينَ، فَقُلْتُ: آمِينَ، وَمَنْ ذُكِرْتَ عَنْدَهُ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيْكَ، فَمَاتَ فَدَخَلَ النَّارَ، فَأَبْعَدَهُ اللَّهُ، قُلْ: آمِينَ، فَقُلْتُ: آمِينَ “

Telah menceritakan kepada kami Abu Ma’mar Al-Hudzaliy[11], telah menceritakan kepada kami Hafsh bin Ghiyaats[12], dari Muhammad bin ‘Amr[13], dari Abu Salamah[14], dari Abu Hurairah, bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam menuju mimbar, kemudian beliau bersabda, “…(Al-Hadiits)”[Musnad Abu Ya'laa no. 5922].Diriwayatkan pula oleh Ibnu Hibbaan (Shahiih Ibnu Hibbaan no. 907); Ath-Thabaraaniy (Mu’jam Al-Ausath no. 8131); Ibnu Abi ‘Aashim (Ash-Shalaatu ‘Alan Nabiy no. 67 -secara ringkas); Ibnul Jauziy (Al-Birr wa Ash-Shilah 1/94).
Sanad hadits ini hasan.

Dan dalam periwayatan Abu Shaalih Dzakwan bin As-Sammaan dari Abu Hurairah, dinukil secara ringkas :

حَدَّثَنَا شَيْبَانُ بْنُ فَرُّوخَ حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ عَنْ سُهَيْلٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ رَغِمَ أَنْفُ ثُمَّ رَغِمَ أَنْفُ ثُمَّ رَغِمَ أَنْفُ قِيلَ مَنْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ مَنْ أَدْرَكَ أَبَوَيْهِ عِنْدَ الْكِبَرِ أَحَدَهُمَا أَوْ كِلَيْهِمَا فَلَمْ يَدْخُلْ الْجَنَّةَ

Telah menceritakan kepada kami Syaibaan bin Farruukh[15], telah menceritakan kepada kami Abu ‘Awaanah[16], dari Suhail bin Abu Shaalih[17], dari Ayahnya[18], dari Abu Hurairah, dari Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda, “Terhinalah, kemudian terhinalah, kemudian terhinalah.” Ditanyakan kepada beliau, “Siapa wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Sesiapa yang mendapati orangtuanya dalam usia lanjut, salah satunya atau keduanya, akan tetapi tidak dapat membuatnya masuk surga.” [Shahiih Muslim no. 2552].

Inilah yang mahfuuzh dari Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam. Oleh karena itu, dengan melihat dan mengumpulkan jalan-jalan periwayatan yang telah disebutkan diatas, maka tidak syak lagi, hadits ini adalah hadits shahih, Alhamdulillah, dan sudah selayaknya hadits pertama yang tidak ada asal-usulnya yang kami sebutkan di awal pembahasan, kita tinggalkan dan kita buang jauh-jauh.

Pada bab ini, Abu Hurairah mempunyai beberapa syawahid, seperti misalnya dari Maalik bin Al-Huwairits[19], ‘Ubay bin Maalik[20], Ka’b bin ‘Ujrah[21], Anas bin Maalik[22], Jaabir bin Samurah[23] dan lain-lain -radhiyallahu ‘anhum-, namun kami tidak menyebutkan semuanya karena pembahasan akan menjadi sangat panjang dan kami rasa pembahasan diatas telah mencukupi.

Berma’af-ma’afan Sebelum Bulan Ramadhan

Telah kami sebutkan di awal bahwasanya hadits yang tidak ada asal-usulnya tersebut telah dijadikan dalil oleh sebagian saudara kita untuk berma’afan sebelum Ramadhan tiba (yaitu pada sekitar bulan Sya’ban ini). Yang perlu diketahui adalah, tidak adanya dalil yang shahih lagi tsabit dari Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam perihal mengkhususkan diri berma’afan sebelum Ramadhan. Saling mema’afkan sesama saudaranya adalah perkara yang dianjurkan dan termasuk perbuatan yang amat baik, berdasarkan dalil-dalil yang umum sifatnya yang tidak ada pengkhususan waktu dan tempat.

Allah Ta’ala berfirman :

الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. [QS Ali 'Imraan : 134]

إِنْ تُبْدُوا خَيْرًا أَوْ تُخْفُوهُ أَوْ تَعْفُوا عَنْ سُوءٍ فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا قَدِيرًا
Jika kamu menyatakan sesuatu kebaikan atau menyembunyikan atau memaafkan sesuatu kesalahan (orang lain), maka sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Kuasa. [QS An-Nisaa' : 149]

وَجَزَاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِثْلُهَا فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ إِنَّهُ لا يُحِبُّ الظَّالِمِينَ
Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barangsiapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zhalim. [QS Asy-Syuuraa : 40]

وَلا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلا السَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ
Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik (dengan saling memaafkan), maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. [QS Fushshilat : 34]

Dari sabda Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam :

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ أَيُّوبَ وَقُتَيْبَةُ وَابْنُ حُجْرٍ قَالُوا حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ وَهُوَ ابْنُ جَعْفَرٍ عَنْ الْعَلَاءِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ وَمَا زَادَ اللَّهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلَّا عِزًّا وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلَّا رَفَعَهُ اللَّهُ

Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Ayyuub, Qutaibah dan Ibnu Hujr, mereka berkata, telah menceritakan kepada kami Ismaa’iil -yaitu Ibnu Ja’far, dari Al-’Alaa’, dari Ayahnya, dari Abu Hurairah, dari Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sedekah itu tidak akan mengurangi harta. Tidak ada orang yang memberi maaf kepada orang lain, melainkan Allah akan menambah kemuliaannya. Dan tidak ada orang yang merendahkan diri karena Allah, melainkan Allah akan mengangkat derajatnya.” [Shahiih Muslim no. 2590]

Meminta ma’af tidaklah menunggu hingga Ramadhan atau ‘Idul Fithri tiba, bila kita bersegera meminta ma’af ketika kita berbuat salah terhadap saudara kita, maka itulah yang terbaik. Allah Ta’ala telah berfirman :

إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ
Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdo’a kepada Kami dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyuk kepada Kami. [QS Al-Anbiyaa' : 90]

Diriwayatkan dari sabda Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam :

حَدَّثَنَا هَنَّادٌ وَنَصْرُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْكُوفِيُّ قَالَا حَدَّثَنَا الْمُحَارِبِيُّ عَنْ أَبِي خَالِدٍ يَزِيدَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ زَيْدِ بْنِ أَبِي أُنَيْسَةَ عَنْ سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَحِمَ اللَّهُ عَبْدًا كَانَتْ لِأَخِيهِ عِنْدَهُ مَظْلَمَةٌ فِي عِرْضٍ أَوْ مَالٍ فَجَاءَهُ فَاسْتَحَلَّهُ قَبْلَ أَنْ يُؤْخَذَ وَلَيْسَ ثَمَّ دِينَارٌ وَلَا دِرْهَمٌ فَإِنْ كَانَتْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ حَسَنَاتِهِ وَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ حَمَّلُوا عَلَيْهِ مِنْ سَيِّئَاتِهِمْ

Telah menceritakan kepada kami Hannaad dan Nashr bin ‘Abdurrahman Al-Kuufiy, keduanya berkata, telah menceritakan kepada kami Al-Muhaaribiy, dari Abu Khaalid Yaziid bin ‘Abdurrahman, dari Zaid bin Abu Unaisah, dari Sa’iid Al-Maqburiy, dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Allah memberikan rahmat kepada seorang hamba yang dizhalimi harga diri dan hartanya oleh saudaranya, kemudian dia (orang yang menzhalimi) mendatanginya dan dia (orang yang dizhalimi) merelakannya sebelum meninggal, tidak ada balasan uang dinar maupun dirham (di akhirat), jika dia (orang yang dizhalimi) memiliki kebaikan niscaya akan dipenuhi kebaikannya namun jika tidak mempunyai kebaikan maka (dosa dosa orang yang dizhalimi) akan di berikan kepadanya (orang yang menzhalimi).” [Jaami' At-Tirmidziy no. 2419] – Syaikh Al-Albaaniy menshahihkannya dalam Shahiih At-Tirmidziy.

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى قَالَ قَرَأْتُ عَلَى مَالِكٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَزِيدَ اللَّيْثِيِّ عَنْ أَبِي أَيُّوبَ الْأَنْصَارِيِّ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلَاثِ لَيَالٍ يَلْتَقِيَانِ فَيُعْرِضُ هَذَا وَيُعْرِضُ هَذَا وَخَيْرُهُمَا الَّذِي يَبْدَأُ بِالسَّلَام

Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Yahyaa, ia berkata, aku membaca kepada Maalik, dari Ibnu Syihaab, dari ‘Athaa’ bin Yaziid Al-Laitsiy, dari Abu Ayyuub Al-Anshaariy, bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tidak halal bagi seorang muslim menghajr saudaranya (sesama muslim) lebih dari tiga malam. Keduanya saling bertemu, tetapi mereka saling tak acuh satu sama lain. Yang paling baik di antara keduanya ialah yang lebih dahulu memberi salam.”
[Shahiih Muslim no. 2563; Shahiih Al-Bukhaariy no. 6237; dan ini lafazh Muslim]

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يَزِيدَ قَالَ حَدَّثَنَا حَيْوَةُ بْنُ شُرَيْحٍ حَدَّثَنَا أَبُو عُثْمَانَ الْوَلِيدُ بْنُ أَبِي الْوَلِيدِ الْمَدَنِيُّ أَنَّ عِمْرَانَ بْنَ أَبِي أَنَسٍ حَدَّثَهُ عَنْ أَبِي خِرَاشٍ السُّلَمِيِّ أَنَّهُ
سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ هَجَرَ أَخَاهُ سَنَةً فَهُوَ كَسَفْكِ دَمِهِ

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullaah bin Yaziid, ia berkata, telah menceritakan kepada kami Haiwah bin Syuraih, telah menceritakan kepada kami Abu ‘Utsmaan Al-Waliid bin Abul Waliid Al-Madaniy, bahwa ‘Imraan bin Abu Anas menceritakan kepadanya, dari Abu Khiraasy As-Sulamiy, bahwasanya ia mendengar Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa menghajr saudaranya selama setahun maka seakan ia telah menumpahkan darahnya.” [Musnad Ahmad no. 17476; Al-Bukhaariy dalam Al-Adabul Mufrad no. 406] – Syaikh Al-Albaaniy menshahihkannya dalam Silsilatu Ash-Shahiihah no. 928.

Dan mereka yang bermusuhan, maka pengampunan dosa untuknya ditunda hingga mereka kembali berdamai.

حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ عَنْ مَالِكِ بْنِ أَنَسٍ فِيمَا قُرِئَ عَلَيْهِ عَنْ سُهَيْلٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ تُفْتَحُ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ يَوْمَ الِاثْنَيْنِ وَيَوْمَ الْخَمِيسِ فَيُغْفَرُ لِكُلِّ عَبْدٍ لَا يُشْرِكُ بِاللَّهِ شَيْئًا إِلَّا رَجُلًا كَانَتْ بَيْنَهُ وَبَيْنَ أَخِيهِ شَحْنَاءُ فَيُقَالُ أَنْظِرُوا هَذَيْنِ حَتَّى يَصْطَلِحَا أَنْظِرُوا هَذَيْنِ حَتَّى يَصْطَلِحَا أَنْظِرُوا هَذَيْنِ حَتَّى يَصْطَلِحَا

Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’iid, dari Maalik bin Anas pada apa yang telah dibacakan kepadanya, dari Suhail, dari Ayahnya, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Pintu-pintu surga dibuka pada hari senin dan kamis. Semua dosa hamba yang tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu akan diampuni, kecuali bagi orang yang antara dia dan saudaranya terdapat kebencian dan perpecahan. Lalu dikatakan, ‘Tangguhkanlah kedua orang ini hingga mereka berdamai! Tangguhkanlah kedua orang ini hingga mereka berdamai! Tangguhkanlah kedua orang ini hingga mereka berdamai!’” [Shahiih Muslim no. 2566; Sunan Abu Daawud no. 4916]

Namun pengecualian dari hadits ini yaitu kedua orang yang bermusuhan karena Allah, telah berkata Al-Imaam Abu Daawud rahimahullah :

النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَجَرَ بَعْضَ نِسَائِهِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا وَابْنُ عُمَرَ هَجَرَ ابْنًا لَهُ إِلَى أَنْ مَاتَ قَالَ أَبُو دَاوُد إِذَا كَانَتْ الْهِجْرَةُ لِلَّهِ فَلَيْسَ مِنْ هَذَا بِشَيْءٍ

“Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah mendiamkan sebagian isteri-isterinya selama empat puluh hari, Ibnu ‘Umar juga pernah mendiamkan anaknya hingga ia meninggal.” Abu Daawud berkata, “Jika mendiamkannya itu karena Allah, maka (ancaman) hadits ini tidak berlaku.”

Jadi, tidak perlu menunggu hingga bulan Ramadhan tiba lalu kita baru meminta maaf, bahkan yang dianjurkan adalah hendaknya seorang muslim ketika ia sadar telah berbuat salah kepada saudaranya, maka ia berinisiatif meminta maaf saat itu juga dan saudaranya hendaklah memaafkannya karena tidaklah halal seorang muslim mendiamkan saudaranya selama 3 hari, apalagi jika mereka saling mendiamkan selama setahun, maka seakan-akan mereka saling menumpahkan darah satu sama lain.
Semoga pemaparan ini bermanfaat. Yang benar dari Allah Ta’ala, dan yang salah adalah murni dari kami.

Allaahu a’lam.



Oleh    :  Tommi Marsetio
Artikel Al-Muhandisu


Footnotes :

[1] Ar-Rabii’ bin Sulaimaan bin ‘Abdul Jabbaar bin Kaamil, Abu Muhammad Al-Muraadiy Al-Mu’adzdzin Al-Mishriy. Sahabat dan termasuk murid-murid utama Imam Asy-Syaafi’iy, seorang yang tsiqah dan jujur, hampir tidak ada perbedaan pendapat mengenai ketsiqahannya. Wafat pada tahun 270 H. Termasuk thabaqah ke-11. Dipakai oleh Abu Daawud, An-Nasaa’iy dan Ibnu Maajah. [Tahdziibul Kamaal no. 1864; Taqriibut Tahdziib no. 1894].

[2] ‘Abdullaah bin Wahb bin Muslim Al-Qurasyiy Al-Fihriy, Abu Muhammad Al-Mishriy Al-Faqiih. Seorang yang tsiqah haafizh lagi ‘aabid. Wafat tahun 197 H. Termasuk thabaqah ke-9. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy dan Ibnu Maajah. [Tahdziibul Kamaal no. 3645; Taqriibut Tahdziib no. 3694].

[3] Sulaimaan bin Bilaal At-Taimiy Al-Qurasyiy, Abu Muhammad atau Abu Ayyuub Al-Madaniy. Seorang yang tsiqah. Wafat tahun 177 H. Termasuk thabaqah ke-8. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy dan Ibnu Maajah. [Taqriibut Tahdziib no. 2539].

[4] Katsiir bin Zaid Al-Aslamiy, Abu Muhammad Al-Madaniy As-Sahmiy. Terjadi perbedaan pendapat mengenainya. Maalik telah meriwayatkan haditsnya dan madzhab Maalik dalam hal ini adalah ia tidaklah meriwayatkan kecuali dari perawi yang tsiqah menurutnya, Ibnu ‘Abdil Barr berkata “Maalik tidaklah meriwayatkan kecuali dari seorang yang tsiqah”. Dan mengenai Katsiir, Ahmad berkata “tidaklah aku melihat ada yang salah dengannya”, Ibnu Ma’iin dalam suatu riwayat berkata “tsiqah”, dalam riwayat lain berkata “shaalih”, dalam riwayat lain berkata “tidak ada yang salah dengannya”, dan dalam riwayat lain berkata “laisa bi dzaaka al-qawiy (bukan termasuk perawi yang kuat)”, An-Nasaa’iy mendhaifkannya, Ibnul Madiiniy berkata “shaalih wa laisa bil qawiy”, Abu Zur’ah berkata “shaduuq, terdapat kelemahan”, Abu Haatim berkata “shaalih laisa bil qawiy, haditsnya dicatat”, Ibnu Hibbaan memasukkannya dalam Ats-Tsiqaat, Ibnu ‘Adiy berkata “aku telah melihat salinan catatannya, dan aku tidaklah mengetahui ada yang salah didalamnya, aku berharap bahwasanya ia tidaklah mengapa”, Muhammad bin ‘Abdullaah bin ‘Ammaar berkata “tsiqah”, Ya’quub bin Syaibah berkata “bukan termasuk perawi yang jatuh (derajatnya)”, Muhammad bin Thaahir Al-Maqdisiy berkata “Katsiir tidaklah mengapa dengannya”, Ibnu Hajar berkata “shaduuq terkadang keliru”. Wafat tahun 158 H. Termasuk thabaqah ke-7. Dipakai oleh Al-Bukhaariy dalam Juz’u Al-Qiraa’ah, Abu Daawud, At-Tirmidziy dan Ibnu Maajah. [Al-Jarh wa At-Ta'diil 7/150; At-Tamhiid 13/188; Dzakhiiratul Huffaazh 2/782; Tahdziibul Kamaal no. 4941; Miizaanul I'tidaal 5/489; Taqriibut Tahdziib no. 5611].

Basysyar ‘Awwaad dan Syu’aib Al-Arna’uuth berkata “shaduuq hasanul hadits”. [Tahriirut Taqriib 3/192].
Al-Albaaniy berkata “Dia hasanul hadits, insya Allah, selama tidak ada penyelisihan (dari perawi yang lebih kuat)”. [Silsilatu Ash-Shahiihah 3/121].

‘Abdul Muhsin Al-’Abbaad berkata “Sejumlah ulama telah memujinya, dan mereka yang mendha’ifkannya maka tidaklah dijelaskan (kedha’ifannya tersebut), dikarenakan mereka menggunakan lafazh yang mujmal (global)”. [Syarh Sunan Abu Daawud 7/587]
Oleh karena itu dengan mengumpulkan perkataan para ulama diatas, maka kesimpulannya adalah seperti yang dikatakan oleh Syaikh Al-Albaaniy dan Syaikh ‘Abdul Muhsin Al-’Abbaad. Allaahu a’lam.

[5] Al-Waliid bin Rabaah bin ‘Aashim bin ‘Adiy Ad-Dausiy, Abul Baddaah Al-Madaniy. Abu Haatim berkata “shaalih”, Al-Bukhaariy berkata “hasanul hadits”, Ibnu Hibbaan mengeluarkannya dalam Ats-Tsiqaat, Ibnu Hajar berkata “shaduuq”. Wafat tahun 117 H. Termasuk thabaqah ke-3. Dipakai oleh Al-Bukhaariy dalam At-Ta’aaliq, Abu Daawud, At-Tirmidziy dan Ibnu Maajah. [Tahdziibut Tahdziib no. 10220; Taqriibut Tahdziib no. 7422].

[6] ‘Abdurrahman atau ‘Abdullaah bin Shakhr Al-Yamaaniy, Abu Hurairah Ad-Dausiy. Sahabat Rasulullah yang mulia, sahabat yang paling banyak menghafal hadits-hadits beliau. Terjadi ikhtilaf seputar namanya dan nama ayahnya, akan tetapi banyak ulama menguatkan ‘Abdurrahman atau ‘Abdullaah dan nama ayahnya adalah Shakhr. Lebih dikenal dengan nama kuniyahnya. Wafat tahun 57 H dan dikatakan tahun 58 H atau 59 H. Termasuk thabaqah ke-1. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy dan Ibnu Maajah. [Taqriibut Tahdziib no. 8426].

[7] Ahmad bin Ibraahiim bin Katsiir bin Zaid bin Aflah bin Manshuur bin Muzaahim Ad-Dauraqiy, Abu ‘Abdillaah Al-’Abdiy Al-Baghdaadiy. Seorang yang tsiqah haafizh. Wafat tahun 246 H. Termasuk thabaqah ke-10. Dipakai oleh Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy dan Ibnu Maajah. [Tahdziibul Kamaal no. 3].

[8] Rib’iy bin Ibraahiim bin Miqsam Al-Asadiy, Abul Hasan Al-Bashriy. Seorang yang tsiqah shaalih, saudara Ismaa’iil bin ‘Ulayyah. Wafat tahun 197 H. Termasuk thabaqah ke-9. Dipakai oleh Al-Bukhaariy dalam Al-Adabul Mufrad, Abu Daawud dalam Al-Qadar dan At-Tirmidziy. [Tahdziibut Tahdziib no. 2457].

[9] ‘Abdurrahman (atau ‘Abbaad) bin Ishaaq bin ‘Abdullaah bin Al-Haarits bin Kinaanah Al-Madaniy Al-Qurasyiy. Sufyaan bin ‘Uyainah berkata “Qadariyyah”, Ahmad dalam suatu riwayat berkata “lelaki shaalih”, dalam riwayat lain ia berkata “kemungkinan shaalihul hadiits”, dan dalam riwayat terakhir ia berkata “tidak ada yang salah dengannya, meriwayatkan hadits-hadits mungkar dari Abu Az-Zinaad”, Ibnu Ma’iin dalam suatu riwayat berkata “Ibnu ‘Ulayyah meridhainya”, dalam riwayat lain ia berkata “tsiqah”, dan dalam riwayat lain ia berkata “shaalihul hadiits”, Abu Daawud berkata “seorang Qadariyyah, kecuali bahwasanya ia tsiqah”, An-Nasaa’iy berkata “tidak ada yang salah dengannya”, Ad-Daaruquthniy berkata “dha’iif Qadariyyah”, Ibnu ‘Adiy berkata “didalam haditsnya terdapat sebagian hal-hal yang diingkari dan tidak mempunyai mutaba’at, dan banyak hadits darinya adalah shahiih, dia shaalihul hadiits”, Abu Haatim berkata “haditsnya dicatat tetapi tidak boleh dijadikan hujjah”, Al-’Ijliy berkata “haditsnya dicatat dan ia bukan orang yang kuat”, Yaziid bin Zurai’ berkata “tidak ada dari Madinah orang yang lebih haafizh daripadanya”, Al-Bukhaariy dalam riwayat At-Tirmidziy berkata “tsiqah”, dan dalam riwayat yang lain ia berkata “tidak termasuk orang yang hafalannya mu’tamad”, As-Saajiy berkata “shaduuq tertuduh Qadariyyah” dan disepakati oleh Ibnu Hajar, dan inilah yang tepat mengenai dirinya. Adz-Dzahabiy memasukkannya dalam Man Tukullima Fiihi. Termasuk thabaqah ke-6. Dipakai oleh Al-Bukhaariy dalam Al-Adabul Mufrad dan At-Ta’aaliq, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy dan Ibnu Maajah. [Tahdziibul Kamaal no. 3755; Tahdziibut Tahdziib no. 5285; Taqriibut Tahdziib no. 3800; Man Tukullima Fiihi wa Huwa Muwatstsaq no. 205; Ma'rifatu Ats-Tsiqaat no. 1017].

[10] Sa’iid bin Abu Sa’iid Kaisaan Al-Laitsiy Al-Maqburiy, Abu Sa’d Al-Madaniy. Seorang yang tsiqah, hapalannya berubah 4 tahun sebelum wafatnya. Wafat sekitar tahun 120 H, sebelumnya atau setelahnya. Termasuk thabaqah ke-3. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy dan Ibnu Maajah. [Siyaru A'lam An-Nubalaa' 5/216; Tahdziibut Tahdziib no. 3061].

[11] Ismaa’iil bin Ibraahiim bin Ma’mar bin Al-Hasan Al-Hilaaliy, Abu Ma’mar Al-Hudzaliy Al-Qathii’iy. Imam tsiqah ma’muun. Wafat tahun 236 H. Termasuk thabaqah ke-10. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud dan An-Nasaa’iy. [Taqriibut Tahdziib no. 415].

[12] Hafsh bin Ghiyaats bin Thalq bin Mu’aawiyah An-Nakhaa’iy, Abu ‘Umar Al-Qaadhiy Al-Kuufiy. Seorang yang tsiqah faqiih, hafalannya sedikit berubah di akhir usianya. Wafat tahun 194 H atau 195 H. Termasuk thabaqah ke-8. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy dan Ibnu Maajah. [Taqriibut Tahdziib no. 1430]

[13] Muhammad bin ‘Amr bin ‘Alqamah bin Waqqaash Al-Laitsiy, Abu ‘Abdillaah atau Abu Al-Hasan Al-Madaniy. Yahyaa Al-Qaththaan berkata “Muhammad bin ‘Amr lebih kusukai dibanding Ibnu Abi Harmalah”, dalam riwayat lain ia berkata “laki-laki shaalih, bukan seorang haafizh dalam hadits”, Ibnu Ma’iin dalam suatu riwayat ditanya mengenai Muhammad bin ‘Amr dan Muhammad bin Ishaaq, manakah yang ia dahulukan? Ibnu Ma’iin memilih Muhammad bin ‘Amr, dalam riwayat lain ia berkata “Orang-orang berhati-hati terhadap haditsnya, lalu ditanyakan pada Ibnu Ma’iin, “Apakah ‘illat yang menyebabkan demikian?” Dijawab bahwa dia dahulu sekali meriwayatkan dari Abu Salamah dengan sesuatu dari ra’yunya, kemudian di lain waktu dia meriwayatkan dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah”, dalam riwayat ‘Abdullaah bin Ahmad, Ibnu Ma’iin berkata “Suhail, Al-’Alaa’ bin ‘Abdurrahman dan Ibnu ‘Uqail, hadits-hadits mereka bukan hujjah, Muhammad bin ‘Amr berada di atas mereka”, An-Nasaa’iy dalam suatu riwayat berkata “tidak ada yang salah dengannya”, dalam riwayat lain ia mentsiqahkannya, Abu Haatim berkata “shaalihul hadiits, dicatat dan ia seorang syaikh”, Ibnu ‘Adiy berkata “Maalik meriwayatkan darinya dalam Al-Muwaththa’ dan selainnya, aku berharap tidak mengapa dengannya”, Al-Jauzajaaniy berkata “tidak kuat dalam hadits”, Ibnu Hibbaan memasukkannya dalam Ats-Tsiqaat seraya berkata “yukhti’ (terkadang salah)”, Adz-Dzahabiy berkata “syaikh masyhuur, hasanul hadiits”, dalam As-Siyar ia berkata “shaduuq”, dan ia memasukkannya dalam Man Tukullima Fiih, Ibnu Sa’d melemahkannya, Ibnul Jauziy memasukkannya dalam Adh-Dhu’afaa’ wal Matruukiin, Ibnu Hajar berkata “shaduuq, lahu auham (mempunyai kekeliruan)”. Kesimpulannya, Muhammad bin ‘Amr shaduuq laa ba’ sa bih, mempunyai beberapa kesalahan. Wafat tahun 145 H. Termasuk thabaqah ke-6. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim sebagai mutaba’at, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy dan Ibnu Maajah. [Tahdziibul Kamaal no. 5513; Tahdziibut Tahdziib no. 8619; Taqriibut Tahdziib no. 6188; Miizaanul I'tidaal 6/283; Siyaru A'laam An-Nubalaa' 6/136; Man Tukullima Fiihi wa Huwa Muwatstsaq 1/165; Ath-Thabaqaat Al-Kubraa 9/288; Adh-Dhu'afaa' wal Matruukiin li Ibnil Jauziy 3/88]

[14] ‘Abdullaah bin ‘Abdurrahman bin ‘Auf bin ‘Abd ‘Auf bin ‘Abd bin Al-Haarits bin Zuhrah Al-Qurasyiy, Abu Salamah Az-Zuhriy Al-Madaniy. Beliau adalah ‘Abdullaah yang kecil (‘Abdullaah Al-Asyghar). Seorang yang tsiqah haafizh, ahadul a’laam di Madiinah. Dikatakan tahun lahirnya adalah sekitar tahun 20 H. Wafat tahun 94 H atau 104 H. Termasuk thabaqah ke-3. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy dan Ibnu Maajah. [Siyaru A'laam An-Nubalaa' 4/287; Taqriibut Tahdziib no. 8142]

[15] Syaibaan bin Farruukh Abu Syaibah Al-Habathiy, Abu Muhammad Al-Ubuliy. Ahmad berkata “tsiqah”, Abu Zur’ah berkata “shaduuq”, Abu Haatim berkata “dia mempunyai pandangan mengenai Al-Qadar dan memaksa manusia kepadanya”, ‘Abdaan Al-Ahwaaziy berkata “Syaibaan paling tsabt dalam riwayat Hudbah bin Khaalid di sisi mereka (para imam)”, Ibnu Qaani’ berkata “shaalih”, Maslamah bin Qaasim berkata “tsiqah”, Zakariyaa As-Saajiy berkata “Qadariyyah, kecuali bahwasanya ia seorang yang jujur”, Adz-Dzahabiy berkata “ahaduts tsiqaat”, dan dalam As-Siyar ia berkata “shaduuq”, Ibnu Hajar berkata “shaduuq tertuduh qadariyyah”. Wafat tahun 235 H atau 236 H, umurnya dikatakan mencapai 90 tahun. Termasuk thabaqah ke-9. Dipakai oleh Muslim, Abu Daawud dan An-Nasaa’iy. [Al-Jarh wa At-Ta'diil 4/357; Al-Kaasyif no. 2317; Miizaanul I'tidaal 3/392; Siyaru A'laam An-Nubalaa' 11/101; Tahdziibut Tahdziib no. 3639; Taqriibut Tahdziib no. 2834]

[16] Wadhdhaah bin ‘Abdullaah Al-Yasykuriy, Abu ‘Awaanah Al-Bashriy Al-Waasithiy. Masyhur dengan nama kuniyahnya. Sahabat Qataadah, seorang yang tsiqah lagi tsabat, disepakati akan ketsiqahannya dan mutqin dengan kitabnya, Abu Haatim berkata “tsiqah, sering salah jika meriwayatkan dari hafalannya”. Wafat tahun 175 H atau 176 H. Termasuk thabaqah ke-7. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy dan Ibnu Maajah. [Al-Kaasyif no. 6049; Miizaanul I'tidaal 7/124; Taqriibut Tahdziib no. 7407]

[17] Suhail bin Abu Shaalih Dzakwaan As-Sammaan, Abu Yaziid Al-Madaniy. Maulaa Juwairiyyah binti Al-Ahmas, seorang wanita bani Gaththafaan. Sufyaan bin ‘Uyainah berkata “menurut kami, Suhail bin Abu Shaalih tsabat dalam hadits”, Ahmad berpandangan yang baik mengenainya, dalam suatu riwayat ia berkata “tidak ada yang salah pada dirinya”, dalam riwayat yang lain ia berkata “Suhail lebih tsabat di sisi mereka (para imam) dari Muhammad bin ‘Amr (bin ‘Alqamah)”, Ibnu Ma’iin berbeda-beda pendapat mengenainya, dalam suatu riwayat ia berkata “Sumayya (maulaa Abu Bakr bin ‘Abdurrahman) lebih baik dari Suhail”, dalam riwayat ‘Abbaas Ad-Duuriy, ia berkata “tsiqah, dia dan kedua saudaranya”, masih dalam riwayat Ad-Duuriy, “Suhail dan Al-’Alaa’, hadits keduanya bukan hujjah”, dan dalam riwayat Ibnu Abi Khaitsamah, Ibnu Ma’iin berkata “orang-orang berhati-hati terhadap haditsnya, dan dalam riwayat akhir ia berkata “laisa bi dzaaka (setingkat dengan dha’if)”, Abu Haatim berkata “dicatat haditsnya dan tidak dijadikan hujjah”, Abu Zur’ah berkata “aku lebih menyukainya dari Al-’Alaa’”, Al-’Ijliy berkata “tsiqah begitu pula saudaranya, ‘Abbaad”, Ibnu ‘Adiy berkata “di sisiku ia tsabat dan tidak mengapa dengannya, diterima khabar-khabarnya”, An-Nasaa’iy berkata “tidak ada yang salah dengan dirinya”, Ibnul Madiiniy berkata “saudaranya wafat di sisinya, maka setelah itu diketahui dirinya banyak lupa terhadap hadits-haditsnya”, Al-Haakim berkata “Suhail salah satu rukun-rukun hadits, Muslim banyak meriwayatkan darinya pada ushuul dan syawaahid, kemudian dikatakan ketika ia tinggal di ‘Iraaq bahwasanya ia telah banyak terlupa dari haditsnya, dan buruknya hafalan di akhir umurnya”, Adz-Dzahabiy berkata “tsiqah, hafalannya berubah”, Ibnu Hajar berkata “shaduuq, hafalannya berubah di akhir usianya”. Wafat sekitar tahun 138 H. Termasuk thabaqah ke-6. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy dan Ibnu Maajah. [Mausu'atul Aqwaal Al-Imam Ahmad fiy Rijaalul Hadiits 2/118; Miizaanul I'tidaal 3/339; Taariikh Ibnu Abi Khaitsamah no. 3104; Al-Jarh wa At-Ta'diil 4/202; Tahdziibul Kamaal no. 2629; Al-Mughniy fiy Adh-Dhu'afaa' no. 2691; Man Tukullima Fiihi wa Huwa Muwatstsaq no. 152; Tahdziibut Tahdziib no. 3464; Taqriibut Tahdziib no. 2675]
Maka, dengan mengumpulkan perkataan para ulama, nampak bahwa Suhail tsiqah, haditsnya adalah hujjah yaitu sebelum hafalannya memburuk karena sebab kematian saudaranya dan bercampurnya hafalan di akhir umurnya, yaitu ketika kesehatannya menurun di ‘Iraaq. Oleh karena itu haruslah dilihat apakah hadits yang diriwayatkannya adalah sebelum atau setelah ia tinggal di ‘Iraaq. Jika setelah tinggal di ‘Iraaq maka riwayatnya bukanlah hujjah. Allaahu a’lam.

[18] Dzakwaan, Abu Shaalih As-Sammaan Az-Zayaat Al-Madaniy. Maulaa bani Gaththafaan. Seorang yang tsiqah lagi tsabat. Wafat tahun 101 H. Termasuk thabaqah ke-3. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy dan Ibnu Maajah. [Tahdziibul Kamaal no. 1814; Taqriibut Tahdziib no. 1841]

[19] Diriwayatkan oleh Ibnu Hibbaan (Shahiih Ibnu Hibbaan no. 409); Ath-Thabaraaniy (Mu’jam Al-Kabiir 19/291); Aslam bin Sahl (Taariikh Waasith 1/148).

[20] Diriwayatkan oleh Ath-Thayaalisiy (Musnad no. 1418); Ibnu Abi Syaibah (Al-Mushannaf no. 590); Ahmad (Musnad no. 18547, 18548 dan 19814); Al-Bukhaariy (At-Taariikhul Kabiir no. 1616); Ibnu Qaani’ (Mu’jam Ash-Shahaabah no. 6); Abu Nu’aim Al-Ashbahaaniy (Ma’rifatush Shahaabah no. 766 dan 767).

[21] Diriwayatkan oleh Ismaa’iil bin Ishaaq Al-Qaadhiy (Fadhl Ash-Shalaatu ‘Alan Nabiy no. 19); Aslam bin Sahl (Taariikh Waasith 1/254); Ibnu Syaahiin (Fadhaa’il Syahru Ramadhaan 1/27); Ath-Thabaraaniy (Mu’jam Al-Kabiir no. 315); Al-Haakim (Al-Mustadrak 4/148); Al-Baihaqiy (Syu’abul Iimaan no. 1571).

[22] Diriwayatkan oleh Al-Bazzaar (Musnad no. 6252); Tammaam Ar-Raaziy (Fawaa’id 2/13); Al-Khathiib Al-Baghdaadiy (Taariikh Baghdaad 8/436); Ibnu Syaahiin (Fadhaa’il Syahru Ramadhaan no. 4, 5, 6, 7 dan 8); Ibnul Atsiir (Usdul Ghaabah 1/149).

[23] Diriwayatkan oleh Al-Bazzaar (Musnad no. 4277); Ath-Thabaraaniy (Mu’jam Al-Kabiir 2/241, 2/246); Yahyaa bin Al-Husain Al-Jurjaaniy (Al-Amaaliy no. 1365).

0 komentar:

Posting Komentar