Yaitu pribadi muslimah yang mampu memancarkan pesona hakiki dari makna kelembutan, keanggunan, kesabaran, kecerdasan, cinta sejati dan akhlak mulia.
Itulah gambaran pribadi ummul mukminin Sayyidah Khadijah dan Aisyah r.a. Tidak sekedar untuk suami, keluarga, karib kerabat, tetapi untuk segenap umat manusia dimanapun dan kapanpun mereka berada.
Ada sebuah kalimat yang penuh inspirasi; “Di balik setiap pahlawan besar selalu ada seorang wanita yang hebat.”
Umar bin Al-Khatab r.a mengatakan, “ Jadilah engkau bocah di depan istrimu, tapi berubahlah menjadi lelaki perkasa ketika keadaan memanggilmu.”
Kekanakan dan keperkasaan, kepolosan dan kematangan, saat lemah dan saat berani, saat bermain dan saat berkarya, adalah ambivalensi-ambivalensi kejiwaan yang justru berguna menciptakan keseimbangan emosional dalam diri para pahlawan.
Kecerdasan Muslimah
Wanita Muslimah yang cerdas tidak lupa memberikan perhatian kepada akalnya seperti halnya dia telah memberikan perhatian terhadap tubuhnya.
Seorang penyair ternama, Zuhair bin Abi Salma pernah mengatakan: “Diri seorang pemuda itu separuh adalah lidah dan separuhnya lagi adalah hatinya. Setelah itu, tidak tersisa baginya melainkan hanya seonggok daging dan darah.”
Seperti halnya laki-laki, wanita muslimah juga mendapat kewajiban, dimana dia harus menuntut ilmu yang bermanfaat bagi agama dan dunianya. Aisyah r.a sendiri pernah berkata, “Sebaik-baik wanita adalah wanita Anshar, mereka tidak malu-malu menanyakan dan mempelajari tentang berbagai masalah agamanya.”
Sosok Istri
Tak diragukan lagi, persiapan menjadi istri itu perlu latihan. Bukan latihan menjadi isteri-isterian. Namun berlatih mengorbankan selera yang tak mendatangkan pahala. Hidup bersama suami dan anak-anak memastikan adanya sejumlah prioritas. Ada yang mesti didahulukan, ada yang harus ditunda, bahkan ada yang harus ditinggalkan. Inilah bagian dari perjuangan dan pengorbanan.
Seorang muslimah yakin bahwa tiap pengorbanan dalam ketaatan kepada Allah pasti mendapat balasan terbaik dariNya. Tiada yang sia-sia selama keikhlasan menyertai setiap pengorbannya. Menjadi seorang isteri menuntut pengorbanan. Setidaknya menanggalkan ego, mengelola selera pribadi agar tak ada hak suami yang terabai.
Kesiapan hanya dimiliki mereka yang berkepribadian Islam. Kokohnya kepribadian Islam amat menentukan suksesnya seorang isteri. Bayangkan jika ia tidak berkepribadian Islam atau tidak kokoh pribadi Islamnya. Arah hidup tak menentu, setiap keputusan diambil dengan pertimbangan selera diri. Tentu suami akan menjadi korban ego sang isteri. Hak-hak suami yang menjadi kewajiban isteri terlantar. Terutama apabila tak sejalan dengan selera isteri. Alih- alih berusaha menunaikan hak isteri dan anak-anaknya, persoalan diri sendirinya pun tak selesai.
Muslimah yang kokoh kepribadian Islamnya senantiasa siap menghadapi kesulitan dalam perjuangan. Perjuangan mengemban misi hidup dengan gembira, ia nikmati setiap peristiwa dan kesulitan dalam menunaikan seluruh kewajiban, termasuk kewajiban menunaikan amanah sebagai isteri. Seberat apapun takkan mendatangkan penyesalan dan keluh kesah.
Hal ini karena ia sadar akan balasan yang terbaik yang dijanjikan Allah, yakni surga, satu-satunya tempat meraih kebahagiaan abadi. Kesadaran ini bukan sekedar ungkapan. Melainkan keyakinan yang terwujud sebagai kesungguhan dan kehati-hatian beramal. Muara dari semua pengorbanannya hanyalah untuk kebahagiaan dirinya juga. Motivasi yang kokoh tumbuh untuk memenuhi firmanNya;
“Maka barangsiapa melakukan amal kebajikan walaupun seberat zarrahpun niscaya ia kan melihat balasannya. Dan barangsiapa mengerjakan kejahatan seberat zarrahpun niscaya dia akan melihat balasannya pula. (TQS. Al-Zalzalah; 7-8).
Lelah dan letih tak lagi jadi persoalan karena setiap tetes keringat, airmata dan darah pasti diganti oleh Allah, sebaik-baik Pembalas.
Oleh : Rindyanti Septiana
(fauziya/muslimahzone.com)
0 komentar:
Posting Komentar