Rabu, Mei 14, 2014
0
" Cinta tanpa muara merupakan pelayaran yang melelahkan.” (Ibnu Mardhiyah)
 
Sekuat apa pun perahu berlayar ia kan berlabuh. Sederas apa pun aliran sungai, akan bermuara juga.

Begitu juga cinta. akan bermuara pada suatu tempat. Tempat dimana pecinta menemui kedamaian dan kemesraan. Muara itu bernama kekasih. Sang kekasihlah tempat istirahat melepas penat emosi, menstabilkan gejolak hati.

Tidak hanya itu kekasih akan menjadi tempat untuk mengumpulkan energi. Itulah rahasianya mengapa ada seorang wanita dibalik orang-orang hebat. Ibarat magnet cinta mengajak pemiliknya untuk berdekatan. Tak ada cinta tanpa sentuhan fisik. Kedekatan ini yang Islam arahkan dalam bentuk pernikahan. Maka esensinya cinta harus bermuara pada pernikahan.

Cinta yang tidak mau mengarah pada pernikahan adalah cinta semu, cinta yang cemen, cinta anak-anak yang hanya ingin mengambil senangnya saja, cinta yang dangkal yang hanya mengekspresikan riak-riak keceriaan sementara menyimpan kegundahan di dalamnya. Pernikahanlah medan sebenarnya untuk membuktikan dan mengekspresikan cinta, sekaligusnya mengasahnya. Dengan pernikahan, cinta kan terukir abadi dalam prasasti kehidupan.

Ibarat arus air, cinta yang menggenang tanpa muara akan menjadi keruh, bahkan melemahkan jiwa. Di Baghdad, ada seorang pakar dalam bidang fiqih yang tak tertandingi, Abdullah bin Yahya. Pada suatu hari, di sebuah sudut kota Baghdad, ia akan memasuki sebuah gang buntu. Sementara ia tak tahu kalau gang itu buntu.

Nah, di ujung gang buntu itu, tanpa sengaja ia melihat seorang gadis berdiri. Kerudungnya tersingkap angin. Sang gadis mengingatkannya, “Hai Tuan! Ini gang buntu”. Ia memandang gadis itu kedua kalinya setelah sebelumnya tidak sengaja. Seketika itu hatinya tertawan pada gadis itu. Ia lalu pulang ke rumah, dan kembali berkumpul dengan teman-temannya.

Tapi aduhai, ia tak bisa melupakan gadis itu. Gadis itu selalu hadir dalam benak, kelopak mata, nafas dan jiwanya. Ia benar-benar tak bisa beranjak darinya. Cintanya pada gadis itu makin kuat. Namun ia orang shaleh. Dan orang yang shaleh itu tidak mudah ditaklukkan oleh hawa nafsu. Demi menghindari fitnah, ia lantas pergi ke kota Bashrah. Ia di Bashrah hingga maut datang menjemput. Ia meninggal dengan membawa cintanya yang tak kesampaian.

Begitulah cinta, arus deras yang mengalir harus menemukan muara, yang akan membuatnya selalu segar. Alaminya, cinta selalu ingin memberi, mempersembahkan karya terbaik yang dapat membuat orang yang dicintai menjadi bahagia karenanya.


Wallahu 'Alam



Artikel Bukhari | Sentuhan Kalbu

0 komentar:

Posting Komentar