Mereka dulunya adalah aktifis dakwah, saat masih menjadi mahasiswa. Di jalan dakwah pula mereka kemudian menikah.
Kehidupan pernikahan mereka indah pada
awalnya. Namun bulan-bulan yang terus berlalu hingga hitungan tahun
berganti, membuat keduanya mulai berhadapan dengan problem ekonomi. Sang
suami, sambil meneruskan kuliah pasca sarjana, berusaha bekerja apa
saja. “Yang penting halal,” prinsipnya. Dari menjadi tukang ojek, jualan
kripik, hingga jualan berbagai makanan ringan.
Beban hidup suami istri itu semakin
besar saat buah hati mereka lahir. Yang menyedihkan, kos-kosan mereka
jauh dari kata layak untuk hidup berkeluarga. Atapnya jebol, kamar
mandinya bocor.
Setelah lulus S2, sang suami mendapatkan
pekerjaan baru sebagai makelar tanah. Ia sendiri merasa pekerjaan ini
bukanlah pekerjaan tetap dan menjadi sebuah ironi bagi dirinya yang
lulusan terbaik saat kuliah S1 dan kini menjadi Magister Fisika. Namun
setidaknya, penghasilannya kini lebih besar dari sebelumnya.
Menjadi makelar, membuatnya sangat
sibuk. Siang malam ia mencari pembeli. Sebelum matahari terbit ia sudah
memacu motornya, dan saat larut malam baru pulang. Praktis, si kecil pun
jarang bertemu dengannya.
Menjalani pekerjaan barunya, meski
penghasilan lebih besar, pelan-pelan banyak kebahagiaan yang hilang. Tak
bisa bercanda dengan buah hati yang sedang lucu-lucunya, juga tak
banyak waktu membersamai istrinya. Yang tak kalah berat baginya, ia yang
dulunya aktifis dakwah kini tak sempat berjamaah di masjid kecuali
menjadi makmum masbuk. Ia tak lagi hadir di majelis-majelis tarbiyah.
Bahkan tak ada lagi tahajud… Ia merasa badai futur sudah sedemikian
dahsyat menghempas.
“Inikah cita-cita pernikahan itu? Ke
mana bunga-bunga mimpi hidup dalam keluarga sakinah, mawaddah,
warahmah?” tanyanya kepada hati kecilnya.
Hingga suatu ketika di larut malam
setelah ia seharian mencari pembeli. Istri terkasih mendekapnya sangat
erat. Akhwat yang dicintainya itu menangis terisak-isak. Seakan-akan ia
akan pergi dan tak akan pernah kembali lagi.
“Mas… aku tidak pernah meminta uang
banyak. Saya juga tidak memintamu untuk bekerja sekaras ini. Sederhana
sekali pintaku, engkau kembali menjadi orang yang shaleh, dan aktif
dalam dakwah” ucapnya sambil terisak tanpa melepaskan dekapannya.
Sang suami hanya bisa terdiam. Kata-kata membuatnya tak sanggup menahan air mata.
“Mas… aku ingin seperti dulu, biar susah
tapi kita bisa berjalan bersama ke tempat ta’lim. Sahur senin-kamis
bareng. Saling membangunkan dan mengingatkan shalat malam. Mungkin Mas
tidak tahu, kenapa aku memilih Mas jadi suami? Karena tidak ada yang
lebih membahagiakan daripada melihat suami yang berjalan meninggalkan
rumah menuju masjid untuk shalat berjama’ah”
Malam itu menjadi malam paling
bersejarah dalam kehidupan pernikahan mereka. Untaian kalimat yang
diiringi air mata itu bukan hanya melelehkan air mata yang sama. Tetapi
juga menjadi jalan pertaubatan bagi sang suami. Menjadi pintu kembalinya
seorang ikhwan ke medan dakwah dan medan juang.
Atas izin Allah, air mata cinta telah
mengubah segalanya. Mengembalikan jiwa yang futur kepada Rabbnya.
Menarik kembali hati yang menjauh ke jalur orbitnya. Menghadirkan lagi
ketenangan dan kedamaian yang sempat hilang sekian lama.
Cinta yang syar’i kepada suami membuat
sang istri kehilangan saat sang suami jauh dari Tuhannya. Cinta mengubah
rasa kehilangan menjadi kesedihan yang memuarakan air mata. Lalu air
mata itu tumpah dalam keheningan malam bersama sujud-sujud yang panjang.
Air mata itu juga hadir bersama kata-kata cinta yang meminta suami
kembali bersamanya; dalam mendekatkan diri kepada Ilahi.
Maka untuk setiap istri, apa pun masalah
suamimu dan apapun masalahmu dengan suamimu. Hadirkan cinta sebelum
engkau menghadirkan perasaan lainnya. Cinta yang membuatmu berdoa
mengetuk perkenanNya. Sebab Dialah yang memegang hati dan jiwa seluruh
hambaNya. Dengan cinta pula, ungkapkan perasaanmu kepada belahan jiwa.
Jika batu saja bisa pecah lantaran tetes-tetes air, hati suami mana yang
tak tersentuh dengan air mata cinta. [Muchlisin]
*Kisah di atas berdasarkan kisah nyata Abu Fakir, salah seorang peserta KMPD BersamaDakwah asal Bandung
0 komentar:
Posting Komentar