Tanda-tanda hati yang sehat
Hati yang sehat memiliki beberapa tanda yang dapat diketahui, di antaranya adalah:
Hati yang sehat selalu mengutamakan hal yang bermanfaat
Mengutamakan akhirat daripada dunia
Bertaubat kepada Allah dan menggantungkan hidupnya kepada-Nya
Selalu ingat kepada Allah dan tidak bosan dalam beribadah kepada-Nya
Orang yang hatinya sehat akan selalu beribadah kepada Allah Ta’ala, tidak pernah bosan dan selalu berdzikir kepada Allah dengan zikir dan sesuai dengan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Orang yang hatinya sakit hanya beribadah kepada Allah Ta’ala secara musiman, sedangkan orang yang hatinya sehat akan selau beribadah kepada Allah Ta’ala secara kontinyu dan terus-menerus meski sedikit.
Bersedih apabila terluput dari wirid, lebih sedih daripada kehilangan harta
Dalam perkembanganya, kata wirid digunakan untuk istilah yang lebih umum, yaitu suatu amal ketaatan yang rutin dilakukan, seperti berzikir setiap pagi dan petang, membaca Al-Quran, shalat malam, menuntut ilmu, dan sebagainya. Orang yang hatinya sehat akan merasa sedih apabila terluput dari wirid-wiridnya. Berbeda dengan orang yang hatinya sakit; antara berdzikir sama saja, tidak ada perbedaan; tidak bersedih, dan tidak menyesal. Bahkan orang yang hatinya sakit selalu membuang-buang waktu, tidak banyak beramal, selalu bersantai, dan lalai dari zikir kepada Allah Ta’ala.
Tanda-tanda hati yang sakit
Hati yang sakit juga memiliki beberapa tanda yang dapat diketahui dengannya, di antaranya adalah:
Tidak mengenal Allah, tidak mencintai-Nya, tidak merindukan perjumpaan dengan-Nya, dan tidak mau kembali ke jalan-Nya, serta lebih suka mengikuti hawa nafsu
أَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ أَفَأَنتَ تَكُونُ عَلَيْهِ وَكِيلاً
”Sudahkan engkau (Muhammad) melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Apakah engkau akan menjadi pelindungnya?” (Q.S. Al-Furqan: 43)
Tidak merasakan sakitnya hati dengan sebab luka-luka maksiat
Seperti ungkapan pepatah, ”Luka tidak terasa sakit bagi orang mati.” Hati yang sehat pasti merasa sakit dan tersiksa dengan perbuatan maksiat. Hal itulah yang membuatnya tergerak untuk kembali bertaubat kepada Rabb-nya. Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّ الَّذِينَ اتَّقَواْ إِذَا مَسَّهُمْ طَائِفٌ مِّنَ الشَّيْطَانِ تَذَكَّرُواْ فَإِذَا هُم مُّبْصِرُونَ
“Sesungguhnya orang-orang bertakwa apabila mereka dibayang-bayangi pikiran jahat (berbuat dosa) dari setan, mereka pun segera ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat (kesalahan-kesalahannya).” (Q.S. Al-A’raf: 201)
Adapun orang yang hatinya sakit, dia selalu mengikuti keburukan dengan keburukan juga. Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah mengatakan, ”Itu adalah dosa di atas dosa sehingga membuat hati menjadi buta, lalu mati.” Sementara hati yang sehat selalu mengikuti keburukan dengan kebaikan dan mengikuti dosa dengan taubat.
Tidak merasa sakit (tidak merasa tersiksa) dengan kebodohannya (ketidaktahuannya) akan kebenaran. Berbeda dengan hati yang sehat, yang akan merasa sakit dengan datang syubhat (ketidak-jelasan) pada dirinya
Hati yang sakit meninggalkan makanan yang bermanfaat dan memilih racun yang berbahaya
وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاء وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِينَ وَلاَ يَزِيدُ الظَّالِمِينَ إَلاَّ خَسَاراً
“Dan Kami turunkan dari Al-Quran (sesuatu) yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang yang beriman, sedangkan bagi orang yang zalim (Al-Quran itu) hanya akan menambah kerugian.” (Q.S. Al-Isra’: 82)
Mereka lebih mendengarkan lagu-lagu yang menimbulkan kemunafikan di dalam hati, membangkitkan birahi dan mengandung kekufuran kepada Allah Ta’ala. Seseorang mengerjakan perbuatan maksiat karena kecintaannya pada apa yang dibenci oleh Allah Ta’ala dan Rasul-Nya. Keberanian berbuat maksiat adalah buah dari pennyakit yang bersarang di dalam hati dan bisa memperparah penyakit yang ada di dalam hati tersebut.
Hati yang sakit cinta pada dunia, senang tinggal di dunia, tidak merasa asing di dunia, dan tidak merasa rindu kepada akhirat
بَلْ تُؤْثِرُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا * وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَى
“Bahkan kalian lebih mengutamakan kehidupan dunia, padahal kehidupan akhirat itu lebih baik dan lebih kekal.” (Q.S Al-A’laa: 16-17)
Ia tidak pernah mengharapkan akhirat dan tidak berusaha untuk menyiapkan bekal menuju ke sana. Ia sibuk dengan dunia dan waktunya dihabiskan untuk hal-hal yang tidak bermanfaat bahkan untuk hal-hal yang haram.
Disarikan dari buku Manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam Tazkiyatun Nufus (hlm. 79-100). Yazid bin Abdul Qadir Jawas. Bogor: Pustaka At-Taqwa.
Disusun oleh: Dwi Pertiwi Ummu Maryam
Muroja’ah: Ustadz Ammi Nur Baits
Artikel www.muslimah.or.id
0 komentar:
Posting Komentar