Ada dua ungkapan indah dari dua orang sahabat Rasulullah,
yang dapat dipatenkan sebagai referensi komprehensif dalam seni
bertanya. Keduanya mensyaratkan adanya ‘kederdasan’ sebelum dan sesudah
bertanya.
Pertama, ungkapan yang berasal dari Abdullah ibn Abbas radhiyallahu ‘anhuma.
Mughirah meriwayatkan, Abdullah ibn Abbas radhiyallahu ‘anhuma pernah ditanya:
“Apa rahasia anda bisa memiliki ilmu seluas ini?”
Beliau menjawab:
“Dengan lisan yang suka bertanya, dan hati yang selalu berpikir.”[1]
Inilah rahasia seseorang bisa meraih ilmu yang banyak. Ia
menjadi terpuji jika kedua sifat tersebut ada padanya, namun jika salah
satu atau keduanya hilang, maka hilanglah keutamaannya. Ilmu juga kian
berkurang dari seseorang manakala salah satu, atau kedua sifat ini
hilang darinya.
Ungkapan Ibn Abbas di atas sekaligus menjadi bantahan atas metode kaum
Filsuf dan Atheis yang menjadikan pertanyaan sebagai tujuan. Mereka
berlomba mengajukan pertanyaan sebanyak mungkin dan tidak berusaha
mencari jawaban atau solusinya.
Andai saja ada dari pertanyaan tersebut yang mendapat
jawaban, maka mereka tidak akan mengindahkannya. Kemudian berusaha
membuatnya ambigu dan kehilangan bobot dengan mengeluarkan puluhan
pertanyaan baru lainnya dari jawaban tersebut.
Ini semua lantaran hati kaum Atheis tidak lagi memiliki
setitik pun kemampuan untuk berpikir, hingga pengetahuan tidak dapat
eksis. Mereka juga tidak punya setetes keyakinan hingga ilmu tidak
pernah bersemayam di hatinya. Hati mereka penuh dengan keraguan,
kebingungan, kekacauan, dan kontradiksi.
Kedua, ungkapan Ans ibn Malik radhiyallahu ‘anhu.
Beliau berkata:
“Ketika kami dilarang untuk bertanya
kepada beliau (tentang hal-hal yang tidak penting), kami berharap akan
datang seorang badui yang cerdas (mengerti cara bertanya yang baik) maka dia bertanya kepada beliau dan kami akan mendengarkan (dialog tersebut).”[2]
Anas senantiasa menanti pertanyaan orang-orang cerdas,
sebab mereka hanya bertanya tentang perkara yang bermanfaat dan
diperlukan. Pertanyaan orang-orang cerdas juga biasanya fokus dan
mendalam yang merupakan inti dari suatu persoalan.
Ungkapan sahabat Anas ini juga menjadi bantahan atas
pertanyaan dan persoalan Filsuf dan Atheis. Biasanya mereka mengajukan
pertanyaan tentang perkara yang sudah cukup jelas dan dapat dijawab
dengan mudah, atau pertanyaan tentang hal ghaib di luar kapasitas akal manusia biasa, dimana manusia hanya dituntut mempercayai dan mengimaninya.
Perkara yang sudah cukup jelas, seperti pertanyaan mereka
tentang wujud Allah. Sebab semua orang berakal pasti percaya dan tahu
bahwa Allah itu ada.
Dalam perkara ghaib, biasanya mereka suka bertanya
tentang kaifiyah/esensi sifat-sifat
Allah, kaifiyah/esensi hari kiamat, dsb. Jadi pertanyaan mereka biasanya di bawah standar minimal atau melampaui akal manusia biasa.
[1]HR. Ahmad, KitabFadhail al-Shahabah, jilid II, h. 970
[2]HR. Muslim, Kitabal-Iman, no. 12
[albayan.co.uk/wahdah]
Artikel Islam Pos
0 komentar:
Posting Komentar