Sabtu, Februari 15, 2014
0

Ayah guru kehidupan - ilustrasi
"Aku itu ndak bisa ngomong, Ayah. Bagaimana aku bisa menjadi guru," ujarku di penghujung masa SMA.

Ayah yang kuajak bicara, menjawab santai, sambil berkelakar, "Makanya kamu kuliah di jurusan Keguruan. Di sana kamu akan diajari bagaimana menjadi guru. "

Akhirnya, selepas SMA, saya memilih Fakultas Tarbiyah sebagai pilihan pertama dalam jalur PMDK di sebuah Universitas. Dan ‘nahasnya’ saya diterima di jurusan itu. Saya sempat bingung dan tidak punya tujuan di sana.

Setiap ada kesusahan pada saat praktek mengajar, saya selalu berdalih bahwa saya tidak mesti harus menjadi guru. Saya bisa menjadi penerjemah dengan bekal ilmu terjemah yang saya dapat. Saya juga bisa menjadi praktisi pendidikan dan beberapa alasan lain, demi menenangkan hati saya. Meski itu, hanya sementara.

Namun lain lagi ketika saya mengeluh pada ayah, “Kalau kamu gak bisa, ya belajar!” Satu kalimat penuh makna dari ayah ini, begitu membekas di hati saya. Tidak ada hal yang tidak bisa kita lakukan, asal kita mau belajar. Sampai akhirnya saya lulus dan menjadi alumni Fakultas Tabiyah.

Beberapa bulan setelah wisuda, saya diterima mengajar di sebuah SMP di Kota kelahiran saya. Di sana, saya diamanahi untuk mengajar mata pelajaran IPS. Sebuah pelajaran yang jauh dengan jurusan saya di Pendidikan Bahasa Arab. Mau tidak mau, Saya harus flash back, membaca ulang buku-buku SMP dan SMA, juga belajar dari banyak sumber.

Uniknya, ketika saya mengadu kepada ayah bahwa saya diamanahi mengajar IPS, lelaki hebat itu hanya tersenyum dan berkata, santai, “Terima saja. Dan, jangan lupa belajar! Apalagi, itu bukan bidangmu.” Lagi-lagi, ayah menyuruh saya untuk belajar.

Satu semester berlalu, tapi saya masih kesulitan menghadapi anak-anak dengan berbagai karakternya. Belum lagi adaptasi dengan mata pelajaran baru yang saya pegang, PKN. Anehnya meski tanpa cerita kepada ayah, beliau sudah bisa menangkap gelagat saya. Tiba-tiba, beliau berkata, “Belajarlah mengontrol emosimu. Karena yang kamu hadapi itu anak-anak”

Lagi, lagi dan lagi, ayah menyuruh saya untuk belajar. Aah….. ayah, engkau benar-benar ingin menumbuhkan mental pembelajar bagi anakmu ini. Meski kadang, aku tak bisa menangkap pesan yang engkau sembunyikan di balik kata-kata bijakmu itu.

Lambat laun, saya mulai berpikir mengapa ayah meminta saya menjadi guru. Bukan lantaran cita-cita beliau menjadi guru tak sampai. Tapi, ayah menginginkan agar saya mempunyai mental pembelajar! Dan mental itu, salah satunya, bisa dimiliki dengan menjadi guru.

Karena sudah seyogyanya seorang guru tampil elegan dan berwibawa dengan kemuliaan akhlak dan keluhuran budi pekertinya di depan anak didiknya. Sudah seyogyanya, seorang guru bersahaja dengan ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Dan, sudah seyogyanya pula, seorang guru terus melatih dirinya dengan beragam disiplin ilmu pengetahuan.

Karena seorang guru, adalah seorang pembelajar sejati yang mempunyai mental baja. Guru adalah seseorang pembelajar sejati yang tak pernah letih untuk berbenah. Guru, adalah seorang pembelajar sejati yang tak pernah mati dalam berkreasi. Ia, adalah pembelajar sejati yang tak pernah berhenti belajar, sampai mati. Because teacher is never die, because study is never die.


Penulis : Ukhtu Emil
Tim bersamadakwah.com

0 komentar:

Posting Komentar