Sabtu, Januari 25, 2014
0
Ungkapan “seandainya aku begini maka begitu” atau sejenisnya, perlu perincian.

Masing-masing perincian memiliki status hukum masing-masing.

Berikut kami terjemahkan dan adaptasi rincian ungkapan yang dimaksud dari status Syaikh Shalih al-Munajjid di akun facebook resmi beliau.


 Jenis pertama: digunakan hanya sebatas kabar. Ini tak berdosa dan tak mengapa. Jika jujur apa yang diungkapkan maka ia benar dan ini kebaikan. Jika ia dusta maka ini berlaku hukum dusta.

Contoh:
Sekiranya aku tak sibuk maka telah engkau kukunjungi
Seandainya engkau tadi datang, aku pasti traktir kamu.

Dan ungkapan lain yang sejenis.

Jenis kedua: berupa harapan. Ini dihukumi berdasarkan harapan si pengucap. Jika dia mengharapkan kebaikan maka dia diganjari pahala berdasarkan niatnya itu. Jika dia mengharapkan kejelekan maka dia mendapat dosa.

Dalam sebuah hadits:

(إِنَّمَا الدُّنْيَا لِأَرْبَعَةِ نَفَرٍ)، وذكرَ منهم: (وَعَبْدٍ رَزَقَهُ اللَّهُ عِلْمًا وَلَمْ يَرْزُقْهُ مَالًا؛ فَهُوَ صَادِقُ النِّيَّةِ، يَقُولُ: لَوْ أَنَّ لِي مَالًا لَعَمِلْتُ بِعَمَلِ فُلَانٍ؛ فَهُوَ بِنِيَّتِهِ؛ فَأَجْرُهُمَا سَوَاءٌ)، وفيه: (وَعَبْدٍ لَمْ يَرْزُقْهُ اللَّهُ مَالًا وَلَا عِلْمًا، فَهُوَ يَقُولُ: لَوْ أَنَّ لِي مَالًا لَعَمِلْتُ فِيهِ بِعَمَلِ فُلَانٍ؛ فَهُوَ بِنِيَّتِهِ؛ فَوِزْرُهُمَا سَوَاءٌ) رواه الترمذي (2325)، وابن ماجه (4228)، وهو في صحيح الجامع (3024).

Sesungguhnya dunia untuk 4 kelompok

Rasulullah kemudian menyebutkan tentang mereka:

Seorang hamba yang Allah anugerahi ilmu namun tak diberikan harta. Dia punya niat jujur/tulus dan berkata: ‘Sekiranya aku berharta maka telah kugunakan beramal seperti amal fulan (yang berharta). Orang ini sesuai niatnya. Keduanya berpahala sama.

Disebutkan jenis yang lain:

Dan pula seorang hamba yang tak diberi harta, tak pula ilmu. Dia berucap: ‘sekiranya aku berharta, telah kugunakan beramal seperti fulan beramal.’ Orang ini sesuai niatnya. Keduanya berpahala sama.
(Diriwayatkan at-Tirmidziy 2325, Ibnu Majah 4228, ini dalam Shahih al-Jami’ 3024)

Jenis ketiga: sebuah penyesalan dan marah terhadap sesuatu yang berlalu. Ini terlarang dan haram karena akan membuka pintu kesedihan dan penyesalan yang mendalam dan tidak bermanfaat sedikitpun.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

(احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ، وَاسْتَعِنْ بِاللهِ وَلَا تَعْجَزْ، وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ فَلَا تَقُلْ: لَوْ أَنِّي فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا؛ وَلَكِنْ قُلْ: قَدَرُ اللهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ؛ فَإِنَّ “لَوْ” تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ) رواه مسلم (2664).

Bersemangatlah terhadap apa yang bermanfaat bagi anda. Mintalah pertolongan kepada Allah. Jangan lemah. Ketika anda tertimpa sesuatu, janganlah anda berucap: ‘Seandainya aku begini dan begitu pastilah jadinya begini dan begitu.’ Namun ucapkanlah: ‘Ini telah Allah tentukan berdasarkan apa yang Dia kehendaki.’ Karena ungkapan “Seandainya/sekiranya/jika” akan membuka amalan syaithan.
(Diriwayatkan oleh Muslim 2664)

Demikian pula dengan orang yang mengatakan dengan penuh kemarahan:

Seandainya aku tak telat sedikit saja maka keberhasilan pasti telah kuraih”.

Jenis keempat: menolak ketentuan syar’i dan takdir Allah. Ini seperti ungkapan orang-orang kafir/musyrik yang Allah abadikan dalam al-Qur-an untuk menjadi pelajaran.
Allah menegaskan:

(يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ كَفَرُوا وَقَالُوا لِإِخْوَانِهِمْ إِذَا ضَرَبُوا فِي الْأَرْضِ أَوْ كَانُوا غُزًّى لَوْ كَانُوا عِنْدَنَا مَا مَاتُوا وَمَا قُتِلُوا لِيَجْعَلَ اللَّهُ ذَلِكَ حَسْرَةً فِي قُلُوبِهِمْ)؛ أي: لو أنهم بقوا ما قُتِلُوا; فهم يعترضون على قَدَر الله.

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu seperti orang-orang kafir (orang-orang munafik) itu, yang mengatakan kepada saudara-saudara mereka apabila mereka mengadakan perjalanan di muka bumi atau mereka berperang: “Kalau saja mereka tetap bersama-sama kita tentulah mereka tidak mati dan tidak dibunuh.” Akibat (dari perkataan dan keyakinan mereka) yang demikian itu, Allah menimbulkan rasa penyesalan yang sangat di dalam hati mereka.” (QS Ali Imran 156)

Begitu pula dengan kelakuan orang musyrik. Mereka menjadikan takdir sebagai alasan dan argument terhadap kesyirikan yang mereka lakoni. Mereka menuturkan:

(لَوْ شَاءَ اللَّهُ مَا أَشْرَكْنَا وَلَا آبَاؤُنَا وَلَا حَرَّمْنَا مِنْ شَيْءٍ)، وكقولهم: (لَوْ شَاءَ الرَّحْمَنُ مَا عَبَدْنَاهُمْ)

Jika Allah menghendaki, niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak mempersekutukan-Nya dan tidak (pula) kami mengharamkan barang sesuatu apapun.” (QS al-An’am: 148)

Dan juga ungkapan mereka:

(لَوْ شَاءَ الرَّحْمَنُ مَا عَبَدْنَاهُمْ)

Sekiranya Allah Ar-Rahman berkehendak, niscaya kami tak akan menyembah mereka (para malaikat).” (QS Az-Zukhruf: 20)

Demikian pula dengan orang yang mengatakan: “Sekiranya Allah menghendaki aku mendapat hidayah niscaya aku tak terjerumus dalam maksiat ini”.

atau berkata dengan penuh penodaan terhadap agama Allah: ”Sekiranya tidak ada hukum Had maka agama begitu indahnya Islam.

Sabtu pagi, 9 Rabi’ al-Awwal 1435 H, Asrama LIPIA Jakarta


Penulis: Fachriy Aboe Syazwiena
Artikel Muslim.Or,Id

0 komentar:

Posting Komentar