Kamis, Agustus 08, 2013
0
Oleh : Ustadz Abdul Qadir Abu Fa’izah -Hafizhahullah-

Dunia memang menggiurkan, maka tak mengherankan bila (kebanyakan) manusia teramat berambisi mengumpulkan dan menumpuk-numpuk harta.

Berbagai macam cara mereka lakukan, dari yang haram sampai cara-cara yang penuh kesyirikan. Lihatlah saat mereka mendatangi dukun-dukun, paranormal dan sejenisnya, karena mengharapkan jampi-jampi, jimat-jimat dari sang dukun agar usahanya dapat sukses.

 Bagi pedagang, mereka datang ke dukun agar dagangannya laris dan lancar; bagi pengusaha agar bisnisnya lancar dan banyak; bagi pejabat agar jabatannya tetap dan naik terus; bagi para artis minta dipasangkan susuk agar tetap cantik dan menarik. Begitulah seterusnya yang semuanya berujung pada penumpukan materi dan penyembahan harta. Jika sudah seperti ini, harta tak lagi menjadi rahmat, namun menjadi celah turunnya siksa.

Kondisi serba berkecukupan, dan kaya tak jarang membuat seseorang lupa daratan, melampaui batas dan sombong, sebagaimana dikisahkan dalam Al-Qur’an tentang seorang yang bernama Qorun, seorang kaya raya dari Bani Israil (anak paman Nabi Musa -alaihis salam-) yang telah melampaui batas lagi sombong.
Allah berfirman,

إِنَّ قَارُونَ كَانَ مِنْ قَوْمِ مُوسَى فَبَغَى عَلَيْهِمْ وَآَتَيْنَاهُ مِنَ الْكُنُوزِ مَا إِنَّ مَفَاتِحَهُ لَتَنُوءُ بِالْعُصْبَةِ أُولِي الْقُوَّةِ إِذْ قَالَ لَهُ قَوْمُهُ لَا تَفْرَحْ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْفَرِحِينَ (76) وَابْتَغِ فِيمَا آَتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآَخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ (77) قَالَ إِنَّمَا أُوتِيتُهُ عَلَى عِلْمٍ عِنْدِي أَوَلَمْ يَعْلَمْ أَن اللَّهَ قَدْ أَهْلَكَ مِنْ قَبْلِهِ مِنَ الْقُرُونِ مَنْ هُوَ أَشَدُّ مِنْهُ قُوَّةً وَأَكْثَرُ جَمْعًا وَلَا يُسْأَلُ عَنْ ذُنُوبِهِمُ الْمُجْرِمُونَ (78) فَخَرَجَ عَلَى قَوْمِهِ فِي زِينَتِهِ قَالَ الَّذِينَ يُرِيدُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا يَا لَيْتَ لَنَا مِثْلَ مَا أُوتِيَ قَارُونُ إِنَّهُ لَذُو حَظٍّ عَظِيمٍ (79) وَقَالَ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ وَيْلَكُمْ ثَوَابُ اللَّهِ خَيْرٌ لِمَنْ آَمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا وَلَا يُلَقَّاهَا إِلَّا الصَّابِرُونَ (80)

“Sesungguhnya Qorun adalah termasuk kaum Musa. Maka ia berlaku aniaya terhadap mereka, dan Kami telah menganugerahkan kepadanya perbendaharaan harta yang kunci-kuncinya sungguh berat dipikul oleh sejumlah orang yang kuat-kuat. (Ingatlah) ketika kaumnya Berkata kepadanya, “Janganlah kamu terlalu bangga; Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang terlalu membanggakan diri”. Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. Qorun berkata, “Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku”. Dan apakah ia tidak mengetahui bahwasanya Allah sungguh telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat daripadanya, dan lebih banyak mengumpulkan harta? dan tidaklah perlu ditanya kepada orang-orang yang berdosa itu, tentang dosa-dosa mereka. Maka keluarlah Qorun kepada kaumnya dalam kemegahannya. berkatalah orang-orang yang menghendaki kehidupan dunia, “Moga-moga kiranya kita mempunyai seperti apa yang telah diberikan kepada Qorun; Sesungguhnya ia benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar”. Berkatalah orang-orang yang dianugerahi ilmu, “Kecelakaan yang besarlah bagimu, pahala Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh, dan tidak diperoleh pahala itu, kecuali oleh orang- orang yang sabar”. (QS. Al-Qoshash :73-80)

Al-Imam Al-Qurtubiy -rahimahullah- berkata, “Allah menerangkan (dalam ayat-ayat tersebut) bahwa Qorun telah diberi perbendaharaan harta yang amat banyak hingga ia lupa diri. Semua yang dimilikinya itu tidak mampu menyelamatkannya dari azab Allah -Ta’ala- sebagaimana pula yang telah dialami oleh Fir’aun”. [Lihat Al-Jami li Ahkam Al-Qur'an (13/321), cet. Darul Hadits]

Para pembaca yang budiman, manusia sendiri merupakan makhluk Allah – سبحانه وتعالى – yang berjati diri amat zhalim dan amat bodoh. Allah -Subhanahu wa Ta’la- berfirman,

إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنْسَانُ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا [الأحزاب/72]

“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh”. (QS.Al-Ahzab :72)

Bukti kejahilan dan kebodohan itu, tatkala harta datang kepadanya, ketertarikan hati pun sangat kuat terhadap harta. Sedang harta sering membuat manusia rakus sehingga ia menempuh segala macam cara dalam meraihnya, tanpa peduli halal-haramnya. Semua itu mereka lakukan karena kerakusan dan kecintaan yang mendalam terhadap harta duniawi.

Allah -Ta’ala- berfirman,

وَتُحِبُّونَ الْمَالَ حُبًّا جَمًّا [الفجر/20]

“Dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan”. (QS.Al-Fajr : 20)

Perumpamaan bagi orang-orang yang dilanda penyakit cinta dunia, laksana orang yang diberi air di tengah gurun pasir yang tandus. Jika ia diberi setenguk, maka ia ingin selanjutnya sampai perutnya kembung.
Nabi -Shollallahu alaihi wa sallam- bersabda,

لَوْ أَنَّ لِابْنِ آدَمَ وَادِيًا مِنْ ذَهَبٍ أَحَبَّ أَنْ يَكُونَ لَهُ وَادِيَانِ وَلَنْ يَمْلَأَ فَاهُ إِلَّا التُّرَابُ وَيَتُوبُ اللَّهُ عَلَى مَنْ تَابَ

“Andai anak cucu Adam memiliki sebuah lembah emas, maka ia menginginkan agar ia memiliki dua lembah emas. Tak ada yang bisa memenuhi (menutupi) mulutnya, kecuali tanah (kuburan). Allah akan memberikan tobat kepada orang yang bertobat”. [HR. Al-Bukhoriy dalam Ar-Riqoq (no. 6439), dan At-Tirmidziy dalam Az-Zuhd (2337)]

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqolaniy -rahimahullah- berkata usai membawakan beberapa hadits yang semakna dengan hadits di atas dari sahabat yang berbeda,

“Di dalam hadits-hadits yang ada dalam bab ini terdapat celaan terhadap sikap rakus dan serakah pada harta. Dari sinilah mayoritas salaf lebih mengutamakan untuk mengambil sedikit (seadanya) dari dunia, merasa cukup dengan harta yang sedikit, dan ridho terhadap sesuatu ala kadarnya”. [Lihat Fathul Bari (11/310), oleh Ibnu Hajar, cet. Darus Salam]

Kecintaan kepada dunia akan membuat pelakunya akan semakin haus terhadap dunia. Detik-detik hidupnya hanyalah memikirkan keindahan dunia yang ingin raih. Hanya saja ia lupa bahwa kerakusan itu akan membuatkan tersiksa batin akibat ia meraih dunia dari sesuatu yang haram, dengan cara yang haram dan untuk tujuan hina, bukan untuk mencapai pahala dan ridho Tuhannya di akhirat.

Al-Imam Ibnu Qoyyim Al-Jawziyyah -rahimahullah- berkata,

قال بعض السلف : من أحب الدنيا فليوطن نفسه على تحمل المصائب ومحب الدنيا لا ينفك من ثلاث : هم لازم وتعب دائم وحسرة لا تنقضي وذلك أن محبها لا ينال منها شيئا إلا طمحت نفسه إلى ما فوقه

“Sebagian Salaf berkata, “Barangsiapa yang mencintai dunia, maka hendaknya ia mempersiapkan dirinya untuk menanggung musibah-musibah. Pencinta dunia tak akan lepas dari tiga perkara: kegalauan yang terus-menerus, rasa penat yang berkelanjutan dan penyesalan yang pernah putus. Demikian itu karena pencinta dunia, tidak meraih sesuatu apapun dari dunia, kecuali jiwanya akan memandang (dengan penuh harap) kepada sesuatu yang lebih dari itu”. [Lihat Ighotsah Al-Lahfan (1/37) oleh Ibnul Qoyyim Az-Zar'iy, dengan tahqiq Muhammad Hamid Al-Faqi, cet. Dar Al-Ma'rifah, 1395 H]

Al-Imam Al-Hasan bin Abil Hasan Al-Bashriy -rahimahullah- berkata,

هي كالسم يأكله من لا يعرفه وهو حتفه فكن فيها كالمداوي لجراحته يحتمي قليلا مخافة ما يكره طويلا ويصبر على شدة الأذى مخافة طول البلاء واحذر هذه الدار الغرارة التي قد زينت بخدعها وتحلت بآمالها وتشوقت لخطابها وفتنت بغرورها فأصبحت كالعروس المحلاة العيون إليها ناظرة والقلوب إليها والهة والنفوس لها عاشقة وهي لأزواجها كلهم

“Dunia ibarat racun yang dimakan oleh orang yang tak mengenal racun. Padahal racun itu akan membunuhnya. Jadilah engkau di dunia ini laksana orang yang mengobati lukanya, ia berpantang (menghindar) sementara dari sesuatu yang ia benci dalam waktu lama serta bersabar di atas kerasnya rasa sakit, karena khawatir terhadap lamanya bala’. Waspadailah kampung yang menipu ini, kampung yang terhiasi dengan tipuan-tipuannya, berhias dengan angan-angan dunia dan menampakkan kerinduan kepada para peminangnya serta ia (dunia) menggoda dengan segala kepalsuannya. Jadilah dunia laksana pengantin yang terhiasi, mata-mata memandang kepadanya, hati rindu kepadanya, dan jiwa amat cinta kepadanya. Sedang ia (dunia) memang untuk semua suaminya (yakni, pencintanya)”. [HR. Abu Nu'aim dalam Hilyah Al-Awliyaa' (6/313), Al-Ajurriy dalam Akhbar Abi Hafsh Umar bin Abdil Aziz (hal. 79), Ibnu Abid Dun-ya dalam Az-Zuhd (no. 50)-Syamilah]

Dunia memang berbahaya di saat seseorang terlena dengan keindahan dan kelembutannya. Sebab dunia akan menguasai hati kita dan membuat kita lupa dari tujuan hakiki, yaitu kampung akhirat.

Abu Syuja’ -rahimahullah- berkata,

كَتَبَ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ إِلَى سَلْمَانَ الْفَارِسِيِّ: ” وَأَمَّا بَعْدُ، فَإِنَّمَا مَثَلُ الدُّنْيَا مَثَلُ الْحَيَّةِ لَيِّنٌ مَسُّهَا يَقْتُلُ سُمُّهَا، فَأَعْرِضْ عَمَّا يُعْجِبُكَ مِنْهَا لِقِلَّةِ مَا يَصْحَبُكَ مِنْهَا، وَضَعْ عَنْكَ هُمُومَهَا لِمَا أَيْقَنْتَ مِنْ فِرَاقَهَا، وَلَكِنَّ أَشَرَّ مَا يَكُونُ لَهَا، فَإِنَّ صَاحِبَهَا قَلَّمَا اطْمَأَنَّ فِيهَا إِلَى سُرُورٍ أَشْخَصَهُ عَنْهُ مَكْرُوهٌ وَالسَّلَامُ ” .

“Ali bin Abi Tholib pernah menulis surat kepada Salman Al-Farisiy, “Adapun selanjutnya, maka hanyalah perumpaan dunia laksana ular, yang lembut bila disentuh, namun racunnya membunuh. Karenanya, berpalinglah dari sesuatu yang menakjubkanmu dari dunia tersebut, karena sedikitnya sesuatu dari dunia yang akan menemanimu. Buanglah dari dirimu kerisauan-kerisauan dunia, karena kamu yakin akan meninggalkannya. Akan tetapi, sesuatu yang terburuk adalah sesuatu untuk dunia. Karena, pemilik (pencinta) dunia, jarang sekali merasa condong di dalamnya kepada kebahagiaan. Dia hanya disambut oleh sesuatu yang ia benci. Wassalam”. [HR. Al-Baihaqiy dalam Syu'abul Iman (13/179)]

Dunia laksana penyihir yang mampu merusak hubungan di antara manusia. Bahkan dunia lebih kuat pengaruhnya dibandingkan tukang sihir tersebut. Sebab, dunia mampu memutuskan hubungan antara seorang hamba dengan Tuhannya. Alngkah banyaknya orang-orang yang dulu taat dan berbakti kepada Allah.

Namun dengan pengaruh dunia ia pun memutuskan segala ketaatannya kepada Allah. Walaupun lisannya dan hatinya yang sudah terborgol dunia akan berkilah, “Kami meraih dunia dengan berbagai rupanya demi mencapai ridhonya”.

Sungguh ini adalah kedustaan yang membinasakan pemiliknya, sehingga tak heran bila orang yang berkilah seperti ini semakin hari semakin jauh dari kebaikan, ditimpa berbagai macam cobaan, diberi kesempitan hati –walaupun lahiriahnya memiliki kelapangan-. Namun hatinya sempit akibat ia dikuasai oleh dunia yang hina, dunia yang akan melalaikannya dari mengingat Tuhannya. [Lihat Tashliyah Ahlil Mushob (hal. 248) oleh Al-Manbajiy Al-Hanbaliy -rahimahullah-, cet. Darul Kutub Al-Ilmiyyah, 1986 M]

Kesempitan yang akan dirasakan oleh orang-orang yang jauh dari Tuhannya, bukan hanya di dunia, bahkan akan berlanjut sampai ke akhirat.

Allah -Azza wa Jalla- berfirman,

وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى (124) قَالَ رَبِّ لِمَ حَشَرْتَنِي أَعْمَى وَقَدْ كُنْتُ بَصِيرًا (125) قَالَ كَذَلِكَ أَتَتْكَ آَيَاتُنَا فَنَسِيتَهَا وَكَذَلِكَ الْيَوْمَ تُنْسَى (126) وَكَذَلِكَ نَجْزِي مَنْ أَسْرَفَ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِآَيَاتِ رَبِّهِ وَلَعَذَابُ الْآَخِرَةِ أَشَدُّ وَأَبْقَى (127) أَفَلَمْ يَهْدِ لَهُمْ كَمْ أَهْلَكْنَا قَبْلَهُمْ مِنَ الْقُرُونِ يَمْشُونَ فِي مَسَاكِنِهِمْ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآَيَاتٍ لِأُولِي النُّهَى (128) [طه/124-129]

“Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta”. Berkatalah ia, “Ya Tuhanku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya adalah seorang yang melihat?” Allah berfirman, “Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya, dan begitu (pula) pada hari ini kamupun dilupakan”. Dan Demikianlah Kami membalas orang yang melampaui batas dan tidak percaya kepada ayat-ayat Tuhannya. Dan sesungguhnya siksa di akhirat itu lebih berat dan lebih kekal. Maka tidakkah menjadi petunjuk bagi mereka (kaum musyrikin) berapa banyaknya Kami membinasakan umat-umat sebelum mereka, padahal mereka berjalan (di bekas-bekas) tempat tinggal umat-umat itu? Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal”. (QS. Thohaa : 124-129)





Sumber : http://pesantren-alihsan.org/bahaya-ambisi-dunia.html

0 komentar:

Posting Komentar