Jumat, Maret 29, 2013
0
“Ahli hikmah”, itulah gelar atau panggilan yang lazim masyarakat memberikannya kepada seorang ustadz atau kiyai yang suka membuat zimat, wafaq, rajah dan memiliki ilmu kebatinan seperti bisa menangkap jin, atau bisa mengetahui sesuatu yang belum terjadi.

Mereka meyakini ilmu “hikmah” ini adalah ilmu yang tidak bisa dipelajari, dan ilmu ini adalah pemberian khusus dari Allah subhanahu wata’ala yang diberikan hanya kepada orang-orang tertentu, mereka merujuk kepada firman Allah subhanahu wata’ala:
“Allah menganugerahkan Al Hikmah kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).” (QS. Al Baqoroh: 269).

Kalau membaca dan menela’ah tafsirnya, kita akan menemukan makna sesungguhnya yang dimaksud dalam ayat itu sangat berbeda sekali dengan pemahaman sebagian besar masyarakat di Indonesia. Ibnu katsir dalam tafsirnya menyebutkan definisi dari kata al hikmah dalam ayat itu, diantaranya: arti hikmah adalah takut kepada Allah, ada yang mengatakan al kitab dan kepahaman, ada juga yang mengatakan kepahaman terhadap agama Allah subhanahu wata’ala. (tafsir Ibnu katsir I/700).

Tetapi yang terjadi di masyarakat, pengertian al hikmah ini menjadi bias dan tidak ada batasannya.
Contohnya ada seseorang yang mengaku telah memiliki ilmu tertentu seperti bisa memanggil raja jin, punya budak/ khodam dari kalangan jin, bisa membuat zimat dan wafaq untuk kekebalan atau asihan/pelet, kemudian diyakininya bahwa itu adalah pemberian dari Allah subhanahu wata’ala sebagai ilmu hikmah, padahal dalam proses mendapatkannya ada unsur syirik, melecehkan al quran dan ritual-ritual yang bertentangan dengan syariat.

Bagaimana mungkin itu adalah ilmu hikmah yang datang dari Allah subhanahu wata’ala?
Lalu siapa ahli hikmah dan bagaimana mengetahuinya?

Kita bisa mengetahuinya dari prilaku orang tersebut, jika prilakunya itu tidak sesuai dengan syari’at dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, pasti itu bukan hikmah yang dimaksud dalam al-Qur’an. Apalagi jika orang tersebut menjalankan aktivitas sihir atau sejenisnya. Orang yang mendapatkan hikmah dari Allah itu adalah sebuah hasil dari amalan yang istiqomah, yang didasari ilmu syari’at. Dan ia sangat kuat memegang sunah-sunah nabi shallallahu ‘alaihi wassalam dalam memahami dan mengamalkannya dengan benar, tanpa dicampuri oleh perbuataan syirik dan bid’ah.

Memang sangat disayangkan kerancuan dan salah kaprah mengenai pemahaman “ahli hikmah” sudah terjadi di sebagian masyarakat luas, samar bagi mereka untuk membedakan; mana yang benar-benar mendapatkan ilmu hikmah dari Allah subhanahu wata’ala dan ahli hikmah sempalan.

 Sehingga realitanya banyak dari masyarakat yang telah terkecoh bahkan tertipu oleh iklan dan penampilan orang-orang yang mengaku mendapatkan ilmu hikmah, mengakibatkan tidak sedikit orang yang terjerembab di kubang kesyirikan (pendholiman kepada Allah subhanahu wata’ala).

 Di antara usaha penyebaran kesyirikan yang dilakukan oleh para “ahli hikmah sempalan” adalah membuat dan menyebarkan zimat, rajah dan wafaq untuk kekebalan, asihan, laris dagangan atau yang lainnya. Padahal Allah subhanahu wata’ala benci dan tidak meridhoi perkara-perkara tersebut, hal ini ditegaskan dalam sabda utusan Nya:

ﺇﻥ ﺍﻟﺮﻗﻰ ﻭﺍﻟﺘﻤﺎﺋﻢ ﻭﺍﻟﺘﻮﻟﺔ ﺷﺮﻙ

Sesungguhnya jampi, tamimah (zimat/ rajah) dan tiwalah itu adalah kesyirikan. (HR. Ahmad & Abu Dawud).

Dalam hal ini para ulama telah merinci hukum orang yang memaki zimat, rajah dan wafaq,
Pertama: terjatuh kepada Syirik Besar bila disertai keyakinan bahwa zimat itu sendiri yang memberikan pengaruh selain Allah subhanahu wata’ala, yang bisa menolak mudharat dan mendatangkan manfaat, serta bisa membentengi setiap orang yang memakainya. Maka pelakunya telah keluar dari Islam, hangus seluruh amalan-amalan sholeh yang telah ia perbuat dan ia kekal di dalam api neraka bila mati belum bertaubat dari kesyirikannya.

Kedua: terjatuh kepada Syirik Kecil bila dia meyakini bahwa zimat itu hanya sebagai sebab semata, adapun yang mendatangkan manfaat dan menolak segala bentuk mala- petaka yang menimpanya adalah Allah subhanahu wata’ala.

Syirik kecil tidak mengeluarkan pelaku-nya dari Islam akan tetapi merupakan dosa yang paling besar dan paling buruk diantara dosa- dosa besar lainnya seperti berbohong, ghibah, mencuri, zina dll. Makanya Ibnu Mas’ud radhiallahu anhu lebih menyukai untuk bersumpah dengan nama Allah dalam keadaan berbohong (dosa besar), daripada jujur tapi bersumpah dengan selain nama Allah (syirik kecil).

Bahkan sebagian para ulama tauhid menyebutkan bahwa dosa syirik, baik syirik besar atau syirik kecil tidak akan diampuni Allah jika tidak ditaubati di dunia, karena keumuman firman Allah:
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik , dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (QS. An Nisa: 48),

Hanya saja pelaku syirik kecil tidak kekal di neraka dan akan masuk syurga. (Ibnu Taimiyyah “Ar Rod ‘alal Bakri” I/301)

Kata-kata “sebab” atau “perantara” terkadang dijadikan alasan untuk melakukan kesyirikan dan penggugat balik bagi orang yang mengingkari kesyirikan. Para pemakai zimat dan pengagung kuburan, tempat- tempat keramat, pohon-pohon angker terkadang beralasan membolehkan semua itu hanya dengan meyakininya sebagai “sebab” atau “perantara”. Benarkah itu?

Mengetahui sesuatu itu “sebab” atau “bukan sebab” adalah bagian dari Agama. Dan akan membahayakan seseorang bila tidak mengetahuinya, karena bisa menjerumuskan kepada kesyirikan. Telah disebutkan oleh para ulama bahwa untuk mengetahui sesuatu itu “sebab” atau “bukan sebab” dengan 2 cara:

1. Melalui penetapan syariat bahwa sesuatu itu sebagai sebab. Seperti Allah subhanahu wata’ala menjelaskan tentang salah satu fungsi madu:
“Di dalam (madu itu) ada obat bagi manusia.” (An-Nahl: 69).

2. Melalui cara penelitian dan terbukti secara alami memiliki manfaat. Contohnya obat- obatan yang telah diramu dan diteliti oleh para pakar kesehatan. (lebih jelasnya lihat Al-Qaulul Mufid Syarh Kitab Tauhid, I/208).




Wallohu’alam





Penulis: Abu Hamzah Deden Wahyudin, S.Pd.I
Artikel: http://elsunnah.wordpress.com

0 komentar:

Posting Komentar