Selasa, Desember 04, 2012
0
Pernah kutatapi satu bintang di sana Seraya berharap dia pun menatapnya
Lalu kuteteskan pilunya rindu menusuk qalbu
Seraya berucap,

“Wahai Bintang
Sampaikan padanya dimanapun ia berada
Bahwa aku masih merindukannya..”
Namun jauh kini kusadari
Bahwa semua itu tiada arti
Hanya menyia-nyiakan diri
Yang tak pernah memberi arti

“Ya Rabbi..
Semestinya pada-Mu aku berharap
Bukan pada makhluq-Mu aku meratap

Ya Rabbi..
Biarlah kutautkan untaian rinduku dalam munajat
Hingga Engkau kirimkan untukku seorang ‘malaikat’…”
Malam masih sunyi. Dengkuran serangga malam masih bernyanyi. Sayup-sayup kudengar lantunan ayat suci. Membuatku terjaga dari indahnya mimpi.
Hmm..rupanya Emak sedang mengaji.

“Alhamdulillaahilladzii ahyanaa ba’da maa amaatanaa wa ilaihin-nusyuur.”
Segala puji bagi Allah yang menghidupkan kami setelah mematikan kami, dan hanya kepada-Nya kami akan dibangkitkan. (HR Bukhari)

Segera kubangkit dari pembaringan. Mensucikan diri untuk menghadap Sang Maha Rahmaan. Namun baru delapan raka’at kutunaikan, Emak sudah bersiap- siap membuat adonan. Aku pun bergegas membantu segala persiapan.
“Sudah selesai witir, Nak?” tanya Emak.
“Belum, Mak. Nanti aja menjelang shubuh..” sahutku seraya mengambil sesisir pisang.
Tangan Emak mulai menari di atas adonan, sementara aku menyiapkan pisangnya. Rutinitas biasa setiap dini hari dalam keluarga kami. Membuat molen pisang untuk dijajakan ke warung-warung dan pasar.

“Kakakmu menelpon Emak semalam, katanya dia belum bisa pulang akhir pekan ini.”, ujar Emak menyampaikan kabar dari Kak Kamal di Tanggerang.
“Hmm..padahal Milah pengen curhat sama Kak Kamal. Tapi ya sudahlah, mudah- mudahan Kak Kamal cepet gajian biar bisa pulang, ya Mak..?”, sahutku. “Kamu ini..Kakakmu itu sudah tentu punya urusannya sendiri. Enggak usah dibebani lagi sama masalah-masalah kita disini. Curhat saja sama Emakmu ini, sama aja kan?”, ucap Emak mengingatkan.

“Mak, Milah pengen nikah, Mak. Tapi..”, ucapku terhenti karena ragu dini hari itu. Ayunan tangan Emak di atas adonan molen pun turut terhenti. Perlahan matanya tertuju ke arahku yang sedang mengupas dan memotong beberapa pisang. Ia menatapku dalam-dalam. Senyum simpul terbias di tepi bibir mulianya, seraya menghela nafas panjang.

“Jamilah..Emak ngerti perasaan kamu, Nak. Almarhum bapakmu pasti senang mendengarnya. Tapi untuk saat ini, Emak belum sanggup bantuin kamu nikah. Lagian Kak Kamal juga belum nikah.”, sahut Emak meminta pengertianku. “Iya Mak..Milah juga ngerti keadaan kita. Lagian kalo Milah nikah, nanti siapa yang bantuin Emak bikin molen pisang. Milah cuma minta ridha Emak dulu. Siapa tahu kalau Emak udah ridha, Allah ngasih jodoh dan rizqinya buat Milah.”, ujarku menenangkan Emak.

“InsyaAllah, Emak ridha. Mudah-mudahan ada rizqi dan jodohnya. Udah witir dulu sana. Mumpung belum shubuh.”, ujar Emak seraya melanjutkan pekerjaannya. Dini hari itu, aku pun segera mengganjilkan rangkaian shalat malamku, hingga tiba waktu shubuh.

Malam itu selepas ‘Isya..
“Mak, dosa gak yah, Milah mencintai keshalihannya?” tanyaku malu-malu. “Kalau sekedar rasa, insyaAllah tidak dosa. Memang siapa laki-laki itu, Milah?”, Emak balik bertanya.

“Mmm.. Ustadz Adnan, Mak..”, ungkapku ragu.
“Adnan? Adnan teman Kakakmu itu?”, tanya Emak terkejut. “Iya Mak..”
“Adnan putra keluarga almarhum H. Rasyid itu?”
“Betul Mak..”
“Maasyaa Allah, Jamilah.. Istighfar, Nak..! Adnan itu kan baru menikah dua minggu yang lalu. Mereka juga keluarga terpandang di kampungnya, enggak kayak kita. Apa gak ada lagi 'Adnan' yang lain?”
“Tapi Mak.. Milah ridha kok jadi istri keduanya..”
“Jamilah, poligami memang Allah perintahkan, tapi gak sembarangan. Kalau kamu ridha jadi istri keduanya, lalu bagaimana perasaan istri pertamanya? Kalau kamu jadi istri pertamanya, apa kamu juga masih ridha suamimu menikah lagi?”
Seketika itu rasa sesak memenuhi rongga dadaku. Padahal Ustadz Adnan pilihan terbaik menurutku, bahkan sebelum ia menikah. Setiap istikharahku nama Ustadz Adnan selalu hadir dalam benakku. Kecenderungan itu kuat aku rasakan. Diakah jodohku, Ya Rabb? Meskipun dia sudah menikah? Tetapi Emak tak setuju atas keinginanku.

Usai berbicara sama Emak, aku mengurung diri di kamar. Menahan sesak di dalam dada, menahan pilu di dasar qalbu. Terdiam di sudut kamarku, seraya menjamahkan pandangan ke seisi kamarku. Pandanganku terhenti pada sebuah biola yang terpaku di dinding kamarku. Hadiah dari Abah atas prestasiku kala itu. Telah lama ia tak kusentuh dan membisu.

Entah kekuatan dari mana, perlahan aku menghampirinya. Meraihnya dan mulai memainkannya. Dawai-dawai biolaku melantunkan senandung rindu. Mewakili lantunan dawai-dawai rindu di qalbu. Akankah dawai-dawai rindu dihatiku terlantun syahdu? Siapakah yang mampu menggetarkan dawai-dawai rinduku?

“Wahai Dzat Penggenggam Hati
Jika kecenderungan ini adalah hasrat sanubari
Kumohon jauhkan aku dari keburukannya
Tetapi jika hasrat ini adalah hasrat nurani
Kumohon sampaikan aku pada kebaikannya

Wahai Dzat Penguasa Hati
Jangan Engkau bebani hatiku melebihi batas mampuku
Jangan Engkau tanamkan rasa ini melebihi batas cintaku pada-Mu
Maafkan aku yang telah mengharapkannya
Ampuni aku yang telah menginginkannya…”

“Assalaamu’alaikum, Mak..” suara seseorang di depan rumah, diiringi ketuk pintu.
“Siapa itu, Milah? Shubuh-shubuh gini udah bertamu…” sahut Emak.
“Milah, lihat dulu ya Mak…” ujarku seraya bergegas menuju pintu.
Sebelum aku membuka pintu, aku memeriksa di balik tirai jendela untuk memastikan siapa yang datang. Ah..rupanya Mang Ujang, petugas keamanan di kampung ini.

“Wa’alaikumsalaam, ada apa Mang? Emak masih di dapur…”
“Oh..tolong kasih tau Emak, minta bantuannya buat urusin jenazah wanita..”
“Memang siapa yang meninggal Mang?”
“Itu…penganten baru, Mbak Azkiyya. Istrinya Ustadz Adnan. Tapi almarhumah masih di perjalanan lagi ke mari, dari rumah sakit.”

“Innalillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun..” aku dan Emak terhenyak. Seakan mendengar gelegar halilintar.

Kami bergegas menyiapkan perlengkapan jenazah. Perlengkapan yang memang khusus disediakan dari dana kematian RW. Dengan segera kami tinggalkan rumah. Membelah fajar ba’da shubuh, menuju kediaman almarhumah.
Sesampainya di sana, sebuah ambulance baru saja tiba. Satu persatu keluar dari pintu belakang ambulance, hingga jenazah di angkut ke dalam rumah.
Dengan deraian rasa bersalahku, aku membantu Emak mengukur dan memotong kain kafan. Sementara yang lain menyiapkan pemandian. Diam-diam ku perhatikan wajah almarhumah. Semburat senyum perlahan menghias di bibirnya. Seolah mengabarkan pada kita semua bahwa ia telah melihat istananya di surga. Keringat lembut pun mengembun disekitar keningnya. Pertanda syahid di akhir hayatnya. Subhanallah..?!

Rupanya sebuah virus telah menyerang almarhumah sejak lama. Virus Lupus telah menghabiskan kedua buah ginjalnya. Hingga kondisi tubuhnya tak memungkinkan bertahan hidup tanpa kedua ginjalnya. “Ya Allah, kasihan sekali Mbak Kiyya. Semoga sakitnya ini sebagai penebus dosa- dosanya.”, lirihku membatin.

Sangat jelas kusaksikan, ada duka meliputi seluruh keluarganya hari itu. Aku tak mengira jodoh mereka sesingkat itu. Dan tak mungkin aku bahagia di atas duka Ustadz Adnan yang kehilangan istri tercintanya. Dukanya seakan-akan menjadi dukaku. Rasa kehilangan itu sangat kuat memilukan rasa di hatiku.

Namun ada rasa bersalah yang tak beralasan. Rasa bersalah karena sebuah harapan. Untuk hadir ditengah-tengah kebahagiaan mereka. Ingin menjadi pelengkap dalam bingkai surga mereka. Mungkin memang lebih baik aku tak hadir diantara mereka. Karena mungkin aku tak layak mendampingi kebersamaan mereka. Hingga hanya tangis dan do’aku yang teriring untuk mereka.

Sebulan telah berlalu sejak itu. Kecenderungan dalam istikharahku semakin kuat merasuk qalbu. Aku kembali mengutarakan niatku pada Emak. Sebisaku, tanpa sedikitpun bermaksud menyinggung perasaannya.

“Emak ngerti, Milah. Mungkin Allah memang menyiapkan kamu untuk menggantikan almarhumah. Kita tunggu Kakakmu pulang besok, ya? Mudah- mudahan Kak Kamal bisa bantu..”

Sebulan sekali Kak Kamal pulang dari Cikarang. Sekedar istirahat melepas penat dari pekerjaannya di sana. Terakhir pulang, di hari wafatnya almarhumah istri teman dekatnya sendiri, bulan lalu. Ingin ku utarakan isi hatiku saat itu. Namun mengingat keadaan sepertinya tidak memungkinkan.

Keesokannya, Kak Kamal pulang menjelang ‘Isya. Masih cukup waktu untuknya bersiap-siap shalat berjama’ah di masjid. Selepas ‘Isya, kami bertiga berkumpul. Berbicara melepas rindu, membicarakan keadaan kami di sini, juga keadaan Kak Kamal selama di sana. Hingga akhirnya, Emak menyampaikan pada Kak Kamal, bahwa aku sudah lama ingin menikah dengan teman dekatnya, Ustadz Adnan. “Subhanallah.. Sebelum bertemu dan menikahi istrinya, Adnan pernah menanyakan tentang kamu, Milah. Tapi waktu itu Kakak menyarankan supaya Adnan istikharah dulu. Kalau dia sudah mantap, Kakak baru akan menyampaikannya padamu..”, sahut Kak Kamal menerangkan. “Dan ternyata, Allah memilihkan Mbak Azkiyya. Apa karena Milah tidak sekufu atau belum layak buat ustadz Adnan?”, tanyaku. “Bukan..” sahut Emak. “Tapi karena Allah lebih tau, itu yang terbaik bagi semuanya.” lanjutnya.

“Betul, Mak.. Allah bermaksud menghibur Azkiyya di akhir masa hidupnya dengan kehadiran Adnan. Karena Allah tahu, hanya Adnan yang sanggup shabar menerima ujian seperti itu. Dan untuk Adnan, tentu Allah telah meyiapkan pelipur laranya, pelepas dahaganya. Dan semoga wanita itu adalah kamu, Milah..” ujar Kak Kamal menyejukkan qalbu.

“Insya Allah, besok Kakak shilaturrahim ke sana, dan membicarakan hal ini padanya.” lanjutnya mengakhiri pembicaraan malam itu. Hingga keesokan harinya, Ustadz Adnan disertai beberapa kerabatnya berdatangan ke rumah, untuk melaksanakan prosesi khitbah. Sebulan kemudian kami pun melangsungkan akad nikah, dengan hidangan sederhana. Sedangkan walimatul ‘ursy (resepsi) nya, diselenggarakan tiga bulan sesudahnya. Alhamdulillaah..

“Lantunan rindu telah mengalun syahdu di qalbu
Hadirmu getarkan dawai-dawai rindu di hatiku
Duhai 'malaikat'ku..
Bimbing aku menjadi bidadari surgamu
Pelepas dahaga dalam hausmu
Pelipur lara dalam duka asmaramu

Duhai 'penjaga hati'ku..
Rebahkan segala gundahmu di dadaku
Sandarkan lelahmu di bahuku
Agar engkau tentram bersamaku
Agar engkau tahu bahwa aku hanya untukmu..”



Repost by : Abu Lathifa

0 komentar:

Posting Komentar