Kamis, November 22, 2012
0
Tepat pukul 22.00 WIB, bel pulang shift 2 telah berbunyi. Ratusan karyawan berhamburan dari gedung produksi menuju area parkir. Sebagian mereka ada yang membawa kendaraan sendiri, dan sebagian lagi menggunakan jasa bis jemputan, termasuk aku.

Sebagai kaum Hawa, untuk menghindari ikhtilat (percampuran antara lelaki dan perempuan) aku memilih bangku paling belakang, yang memang lebih banyak ditempati oleh kaum Hawa. Melalui pintu belakang aku mulai menaiki bis jemputan. Dan tak lupa ku lafadzkan,
“Subhanalladzii sakhkhara lanaa haadzaa wa maa kunnaa lahuu muqriniin, wa innaa ilaa Rabbinaa lamunqalibuun.”
Maha Suci Dzat yang telah menundukkan semua ini bagi kami padahal kami sebelumnya tidak mampu menguasainya, dan sesungguhnya kepada Rabb kami lah kami akan kembali." (QS Az Zukhruf, 43 : 13-14)

Dari tempat kubersandar, aku masih menyaksikan rembulan dan bebintang bercengkrama penuh cinta. Melalui kaca jendela bis jemputan karyawan, kulihat cahaya mereka lembut mengecup bumi tepat di permukaannya. Namun ada satu ‘Bintang’ yang tak nampak malam ini.

“Duhai ‘Bintang’ku…
Dimanakah engkau bersembunyi?
Karena cahayamu tak kurasakan lagi

Wahai ‘Bintang’ku…
Kemanakah engkau berlari?
Karna cahayamu tak menyinari semangatku lagi

Lemahkah engkau disana?
Seperti yang kulihat saat terakhir kali…”

Biasanya, di bis jemputan ini dia duduk di bangku ketiga dari belakang. Tapi saat kuperhatikan orang-orang yang mulai menaiki bis dan memilih tempat duduk, aku tak juga menemukannya. Berarti sudah dua hari ini aku tak melihatnya. Entah dia pindah ke shift 1, atau memang tidak masuk? Shabrun Jamil, terakhir kali kulihat memang tampak pucat? Sakitkah? Atau…

“Duuuh…yang lagi resah gelisah, sampe gak bersuara gitu?” sindir Novi sahabatku menyadarkan lamunanku. “Hey, Vi… Siapa lagi yang resah gelisah?” sahutku memungkiri seiring senyum simpulku.
“Aah…Aku ngerti kok, seorang Hanifa lagi jatuh cinta kan…?” ujarnya seraya bersiap duduk di sebelahku. “Ih…Ovi sok tahu nih…” jawabku masih memungkiri, seiring meningkatnya debaran di jantungku.

Bagaimana mungkin Novi bisa tau apa yang aku rasakan? Sedangkan aku sama sekali belum pernah menceritakan. Apa Novi juga tau siapa orang yang saat ini aku khawatirkan? Karena ia pun menatap ke arah bangku ke tiga dari belakang.

“Tuh…emang gak masuk kan orangnya?” celotehnya lagi mengejutkan jantungku.
“MasyaAllah…Novi kenapa sih? Udah ah…” jawabku ingin mengakhiri pembicaraan.
“Shabrun Jamil, kan? Aku denger sih dia memang gak masuk..” ucap Novi. “Oh…kenapa gak masuk katanya?” tanyaku spontan.
“Tuh…kan bener…” ucap Novi seraya menunjuk ke arahku.

Tak dapat kupungkiri apa yang Novi curigai dariku. Sepanjang perjalanan pulang dalam bis jemputan, diam-diam aku pun mulai menceritakan apa yang aku rasakan selama ini. Rupanya Novi memang tahu gelagatku setahun terakhir ini. Setiap aku berpapasan dengan Jamil, selalu nampak salah tingkahku dihadapannya. Begitu pun adanya Jamil yang nyaris menyembunyikan salah tingkahnya dihadapanku, menurut Novi.

“Nanti cari aja di akunku, aku baru temenan sama dia kok…” lanjutnya. “Oh ya? Iya deh nanti aku cari. Tapi jangan bilang siapa-siapa ya, Vi…” pintaku.
“Siip… Hati-hati ya, Han…” ujarnya mengiringi aku yang sudah sampai di tempat pemberhentianku.
Setelah pamitan dan mengucap salam, aku bergegas turun dari bis jemputan.

Sesampainya di kamar kost, aku masih mengkhawatirkan keadaannya. Shabrun Jamil, bagaimana keadaanmu saat ini? Namun segera ku ambil wudhu’ untuk shalat witir sebelum tidur. Setelah itu, tak ada yang bisa ku lakukan lagi selain kutuliskan segala rasaku di diary kecilku.

“Dapat kubaca makna di wajahmu Saat kau menatapku diam-diam Seakan kau berkata, 'Sapalah aku seperti aku menyapa jiwamu.'

Sungguh ingin aku menyapamu Karna namamu terukir di pusara hatiku Tetapi aku takut… Jika syetan menuntut lebih dari itu

Maafkan diamku dan tunduk pandanganku Bukan ku tak pedulikan keberadaanmu Namun kau terlalu berharga untuk kupandang…

Dalam Diam...
Aku mengagumi akhlaqmu
Dalam Diam...
Aku mengagumi lantunan tilawahmu
Dalam Diam...
Aku mengagumi santun ucapanmu
Dalam Diam...
Aku mengagumi 'Diam'mu...”

Aku teringat pesan Novi, bahwa dia sudah berteman di akun ‘facebook’nya. Segera kunyalakan ‘notebook’ku mencari akunnya. Di daftar teman akun Novi aku menemukannya. Meski belum berteman aku bisa melihat kiriman-kiriman di dindingnya.

Shabrun Jamil, diam-diam ku jelajahi setiap celah profilmu. Berharap temukan sesuatu tentang aku. Namun, hatiku pilu serasa diiris sembilu. Karena kiriman-kiriman dari temanmu yang menuliskan…

“Barakallahu laka, wa baaraka ‘alaika, wa jamaa’a baina kuma fii khair…”
“Semoga Allah memberkahimu dan menetapkan berkah atasmu, serta mengumpulkan engkau berdua dalam kebaikan.” (HR Ahmad)

Rupanya engkau telah menikah dua hari yang lalu. Rupanya engkau memang bukan untukku. Kususuri lagi dinding profilmu, hingga aku membaca status terakhirmu…

“Jika kita menikah nanti…
Murnikan niat, ikhlaskan hati Untuk mengabdi pada Ilahi Dalam ikatan janji nan suci..”

Dapat kupastikan bahwa kalimat itu bukan ditujukan untukku, tetapi untuk seorang calon Ratu Bidadarimu yang sekarang tengah menemani malam-malammu.

Tak mampu lagi kubendung buliran mutiara hangat di pelupuk mataku. Lelehan pilu yang terdesak oleh sesak dalam dadaku, hingga ia tertumpah dan meleleh melintasi pipiku. Tiada yang patut aku salahkan selain diriku.

“Sepatutnya aku tak hanya diam Sekedar berharap datangnya keajaiban Seharusnya aku menghiasi penantian Dengan munajat, memohon kebaikan Hingga meningkatkan keta’atan

Karena engkau pun tak hanya diam Ketika aku memilih diam Kau menghiasi penantian Dengan ikhtiar pada jalan kebaikan Hingga Allah memberimu wanita pilihan"





Posted by : Abu Lathifa

*Diangkat dari pengalaman nyata, dengan merubah nama tokoh dan alurnya.

0 komentar:

Posting Komentar